Sabtu, 08 Februari 2014

ISBD- Makalah Sistem Kepercayaan Masyarakat Dusun Watu Ulo Kab. Jember

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena kita telah diberi curahan nikmat dan kasih sayang yang berlimpah. Tidak lupa shalawat serta salam semoga tetap terlimpah dan curahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kita sebagai umatnya.
            Alhamdulillah kami telah menyelesaikan laporan hasil observasi di desa Sumberejo dusun watu ulo yaitu “SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT DI DUSUN WATU ULO” yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar. Walaupun terdapat beberapa halangan di antaranya kawasan observasi yang belum kami kenal dan cukup jauh serta halangan-halangan lain akan tetapi pada akhirnya kami dapat menyelesaikan laporan ini.
            Kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan bimbingan dan pengarahan serta dukungan, baik moril ataupun materil dalam penyusunan laporan ini.
            Dalam laporan hasil observasi ini di jelaskan bagaimana kehidupan masyarakat di dusun watu ulo serta bagaimana keadaan religi di dusun watu ulo. Oleh karena itu kami harap laporan hasil observasi ini bisa menjadi ilmu, manfaat serta sebagai cerminan sosial bagaimana kehidupan masyarakat di desa Sumberejo dan di dusun watu ulo pada khususnya.
            Memang dalam pelaksanaan observasi lapangan maupun dalam pembuatan laporan haisl observasi ini kami rasa belum sempurna. Mungkin masih banyak kesalahan yang kami perbuat. Oleh karena itu, kami mohon maaf bila terdapat kesalahan baik dalam penulisan atau dalam bahasa. Semoga karya ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan digunakan di masa yang akan datang.




                                                                                                Penulis



BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan dsb manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal disuatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan didalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Karena kebudayaan sendiri merupakan sebuah hasil interaksi antar individu dalam suatu kelompok / masyarakat. Salah satu unsur dari budaya itu sendiri adalah sistem kepercayaan/religi. Menurut Radcliffe-Brown agama adalah ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan diluar diri kita yang dapat dinamakan dengan kekuatan spiritual atau moral.
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan di luar diri kita, kekuatan gaib, luar biasa atau supra natural yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Kehidupan beragama sangatlah bertolak dengan aspek ilmiah atau bisa disebut tidak rasional dalam pandangan individu atau masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah. Namun demikian, kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Ketergantungan masyarakat dan individu kepada kekuatan gaib ditemukan dari zaman purba sampai pada zaman modern ini. Kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga menjadi sebuah kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius.
Mempercayai sesuatu sebagai sesuatu yang suci dan sakral juga merupakan ciri khas kehidupan beragama. Adanya aturan terhadap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berhubungan dengan alam lingkungannya, atau daam berhubungan dengan Tuhan. Adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri dari kehidupan beragama.
El – Ehwani dan Norbeck memandang kehidupan beragama sebagai subsistem atau bagian dari kehidupan manusia secara keseluruhan yang hanya berhubungan dengan yang gaib sebagaimana yang umum dipahami saat ini. Walau bagaimanapun keduanya mengakui universalnya kehidupan beragama  dikalangan masyarakat manusia, baik beragama sebagai sistem atau subsistem dari kehidupan. Keduanya juga sebagaimana umumnya manusia dewasa ini, tidak memahami dari segi esensi atau hakikat kepercayaan kepada yang gaib dan yang sakral. Disamping universal, kehidupan beragama di zaman modern ini sudah demikian kompleks. Banyak macam agama yang dianut manusia dewasa ini. Aliran kepercyaan, aliran kebatinan, aliran pemujaan atau yang dikenal dalam ilmu sosial dengan istilah occultisme juga banyak ditemukan dikalangan masyarakat modern. Hampir setiap agama terpecah menjadi beberapa madzhab, aliran atau sekte yang lebih banyak lagi dari agama yang biasa dikenal. Kemudian cara menerima dan menghayatinya juga bermacam-macam. Kehidupan beragama saat ini ada yang yang dijadikan sebagai tempat penyejuk jiwa dan pelarian dari hiruk pikuk ekonomi dan sosial politik kehidupan masyarakat sehari-hari. Ada pula yang dijadikan sumber motivasi untuk mencapai kehidupan ekonomi dan sosial politik. Bahkan ada juga yang dijadikan alasan untuk melancarkan radikalisme, seperti pemberontakan dan terorisme.
Tidak hanya itu, kehidupan beragama sangatlah mempunyai pengaruh yang luas dalam pembentukan prilaku dan karakter sesorang atau masyarakat, berperan dalam pembentukan norma-norma, moral dan hukum. Adanya sila pertama dalam “Panca Sila” yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” juga merupakan suatu wujud betapa pentingnya kehidupan beragama bagi suatu bangsa. Oleh karena itu kehidupan beragama sangatlah kompleks, mengejutkan dan penuh dengan berbagai misteri, sehingga sangat menarik dan penting untuk dipahami dan dimengerti secara ilmiah.
Oleh karena itu, kehidupan beragama sangatlah penting untuk kita telusuri dan kita pahami di berbagai tempat termasuk di Dusun Watu Ulo yang mempunyai berbagai macam budaya yang saling berhubungan dan berketerikatan satu sama lain. Dusun  Watu Ulo sendiri merupakan suatu wilayah yang mempunyai suatu budaya yang unik dan menarik, salah satunya adalah budaya “Petik Laut” yang begitu kental dengan tradisi-tradisi budaya jawa dan sering kali nampak adanya suatu ke-tidak cocokan dengan agama yang mereka peluk yaitu agama Islam sebagai agama mayoritas wilayah tersebut. Ketidak sesuaian hal tersebut nantinya akan kami bahas dalam hasil observasi yang bersumber pada beberapa tokoh masyarakat yang telah kami jadikan sebagai Informan dalam penelitian kami.
Selain itu masih banyak lagi hal yang menarik dari system kepercayaan Dusun Watu Ulo yang akan kami bahas di bagian selanjutnya. Seperti kepercayaan-kepercayaan penduduk kepada mahluk gaib penunggu laut dan sawah serta kepercayaan-kepercayaan yang lain.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam laporan observasi ini adalah sebagai berikut:
1.      Agama apa saja yang dianut oleh masyarakat Dusun Watu Ulo?
2.      Bila ada beberapa agama, adakah perbedaan kepercayaan yang mengakibatkan perpecahan antar warga?
3.      Bagaimanakah pengaruh agama yang mereka anut bagi segala aspek kehidupan warga Dusun Watu Ulo?
4.      Bagaimanakah konteks kehidupan beragama diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat baik dalam beribadah maupun dalam kehidupan sosial lainnya?
5.      Bagaimana pandangan masyarakat terhadap adanya kisah legenda Nyai Roro Kidul?
6.      Makna selametan, petil laut dan kepercayaan- kepercayaan lain yang ada di Dusun Watu Ulo?

1.3  Maksud dan Tujuan
Dalam melakukan observasi ini kami memiliki keinginan tahuan yang begitu besar  terhadap kebudayaan – kebudayaan yang ada di masyarakat Watu Ulo. Sehingga dalam laporan observasi kami ini memiliki maksud dan tujuan antara lain:
1.         Untuk mengetahui kondisi sosial budaya, terutama kehidupan keagamaan di Dusun Watu Ulo
2.         Untuk mengerti dan memahami masalah sosial terutama di bidang keagamaan di Watu Ulo.
3.         Untuk bersosialisasi dan lebih mengenal kehidupan keagamaan di Dusun Watu Ulo.

1.4 Tinjauan Pustaka
Ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dia memiliki kebudayaan atas 7 unsur : sistem religi (kepercayaan), sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan bahasa dan kesenian. Kesemua unsur budaya tersebut terwujud dalam bentuk sistem budaya/ adat istiadat (kompleks budaya, tema budaya, gagasan), sistem sosial (aktivitas sosial, kompleks sosial, pola sosial, tindakan), dan unsur-unsur kebudayaan fisik (benda kebudayaan).
Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan. Definisi kepercayaan mengacu kepada pendapat Fishbein dan Azjen (Soekanto, 2007), yang menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”, yang memiliki pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek. Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial.
Ritual adalah tehnik (cara metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual bersifat pribadi atau kelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, dll. Ritual itu dasarnya sering bersifat sosial kemudian menjadi ekonomis lalu berkembang menjadi tata cara suci agama.
Dalam masyarakat tradisional praktek-praktek ritual sering dilakukan. Dalam prakteknya ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada bersifat psikologi. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan prilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-masing. Pengobjekan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok kebersamaan. Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri-ciri mistis.
Ritual dalam sebuah agama mempunyai maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan apa yang diajarkan dalam agama tersebut. Bentuk ritual juga berbeda-beda. Sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Menurut Victor Turner, ritual mempunyai beberapa peranan antara lain :
1.      Ritual dapat menghilangkan konflik
2.      Ritual dapat mengatasi perpecahan dan membangun solidaritas masyarakat
3.      Ritual mempersatukan sua prinsip yang bertentangan
4.      Dengan ritual orang mendapat kekuatan dan motivasi baru untuk hidup dalam masyarakat sehari-hari.

Penyelenggaraan ritual mempunyai maksud dan tujuan. Secara umum ritual merupakan permohonan terhadap roh leluhur dan rasa syukur terhadap Tuhan serta sebaggai sarana sosialisasi dan pengukuhan nilai-nilai budaya yang sudah ada dan berlaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Ritual dalam agama-agama juga merupakan bagian dari ekspresi diri umat agama dalam berkomunikasi dengan Tuhan dan juga ekspresi tentang bagaimana doktrin agama memandang relasi antara manusia dengan makrokosmos.
Petik Laut adalah sebuah bentuk ritual yang didasari dari kearifan lokal masyarakat. Hampir setiap kawasan berpesisir di Indonesia memiliki ritual Petik Laut dengan nama yang berbeda-beda. Tujuan Petik Laut dilakukan adalah sebagai bentuk rasa syukur dari masyarakat Nelayan atas berkah ikan yang didapat selama setahun kemarin. Setahun ini bukan menggunakan tahunan dalam kalender Masehi melainkan kalender Jawa. Maka Petik Laut selalu dilaksanakan di Bulan Suro dalam Kalender Jawa. Petik Laut itu juga merupakan pengharapan dari Masyarakat Nelayan agar ditahun depan mereka mendapatkan Ikan yang jauh lebih banyak lagi dari tahun kemarin.
Petik laut di dusun Watu Ulo sejak tahun terakhir, telah dilaksanakan pada tanggal 7 Desember 2012 yang didatangi oleh DPR RI fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Salah seorang panitia pelaksana petik laut mengatakan bahwa tradisi petik laut ini merupakan tradisi nenek moyang yang terus dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Menurut Dr Nur syam dalam bukunya yang berjudul Islam Pesisir, beliau mengemukakan : Islam jawa berkembang melalui pesisir dan terus berkelanjutan ke wilayah pedalaman.kontak kebudayaan antara para pendatang yang sering singgah di wilayah psisir pada masa-masa awaa islam di Jawa mentebabkan adanya proses tarik menarik antarabudaya lokal dengan budaya luar yang tak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat. Kemudian yang terjadi ialah sinkretisme dan atau akulturasi udaya, seperti: praktik meyakini iman di dalam ajaran islam akan tetapi masih mempercayai keyakinan lokal. Selain itu beliau juga mengemukakan : Ajaran islam yang termuat di dalam Teks AlQuran dan Al Hadith adalah ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika sumber itu di gunakan atau di amalakan di suatu wilayah sebagai pedoman kehidupan maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Karena penafsiran itu bersentuhan dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkanya juga sesuatu yang sakral.
Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul the Religion Of Java mengemukakan : Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia; ia melambangkan kesatuan mistis dan social mereka yang ikut serta di dalamnya.
Selain itu Geertz juga mengidentifikasikan jenis-jenis slametan dalam empat jenis :
a.       Yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan-kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian.
b.      Yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam, maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya.
c.       Yang ada kaitannya dengan integrasi social desa, bersih desa.
d.      Slametan “sela” yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang, keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya.
Dalam buku “Agama dalam kehidupan manusia” karangan Bustanuddin Agus diterangkan bahwa karena memercayai yang gaib, memercayai wahyu, memercayai surga dan neraka, sekalipun semuanya itu bukan dari manusia, adalah manusia dan masyarakat, pada umumnya para antropolog menempatkan agama (religi) sebagai salah satu dari aspek-aspek kebudayaan (cultural universals, unsure-unsur kebudayaan yang ditemukan secara universal, di mana dan kapan pun) karena dia merupakan norma dan prinsip-prinsip yang ada dalam keyakinan, pemahaman, dan rasa masyarakat yang bersangkutan dalam berhubungan dengan yang gaib.
Islam Jawa sebagai agama rakyat dipandang sebagai penyimpangan dari agama islam. Sebaliknya, Mark R. Woodward dalam bukunya “Islam Jawa” menunjukkan bahwa islam dan jawa compatible. Jika pun ada pertentangan-pertentangan yang terjadi antara keduanya, adalah suatu yang bersifat permukaan dan wajar dalam bentangan sejarah islam. Pertentangan ini bisa dirujuk sebagai persoalan klasik islam, yaitu bagaimana menyeimbangkan antara dimensi hukum dan dimensi mistik, antara ‘wadah’ dan ‘isi’, antara ‘lahir dan ‘batin’. Dengan demikian, Islam jawa di sini “dibaca” sebagai varian yang wajar dalam islam dan berhak hadir.
Secara umum kaum Sufi bersedia menerima unsur-unsur tradisi Hindu dan Budha yang di dalam istilah mereka bersifat zahir (eksternal), tetapi menolak unsur-unsur yang hanya bisa diinterpresentasikan sebagai batin (internal). Demikian juga mereka tidak menerima doktrin-doktrin kosmologis, sebagai lawan mitologis. Kaum Sufi memelihara setidaknya pada tingkat eksoterik, gagasasn ketuhanan traspenden.

1.5  Cara Observasi
1.    Diskusi kelompok dan pencarian referensi sebelum ke lapangan.
Hal ini di maksudkan agar saat di lapangan proses penggalian informasi dapat terlaksana dengan baik dan tidak ada hambatan dalam proses observasi karena sudah ada rencana yang matang apa yang harus di kerjakan saat sudah ada di lapangan.
2.    Persiapan ke lapangan.
Mempesiapkan apa saja hal yang di butuhkan saat di lapangan dan merencanakan apa saja kegiatan selama di lapangan.
3.    Pengambilan data.
Dengan cara wawancara dengan nara sumber serta pengamatan-pengamatan langsung di lapangan bagaimana keadaan sosial serta keagamaan di lapangan.
4.    Menganalisis dan menyusun data.
Hal ini di lakukan agar data bisa lebih mudah di pahami dan agar lebih jelas penyampaianya.
5.      Pemasukan data ke dalam laporan hasil observasi.
6.      Penyempurnaan pengambilan data dengan memasukanya ke dalam laporan hasil observasi

1.6 Lokasi Observasi
Observasi ini di lakukan di daerah pesisir selatan kabupaten Jember, tepatnya di dusun Watu ulo, desa Sumberejo, kecamatan Ambulu, kabupaten Jember. Lokasi ini dipilih dengan alasan sebagai berikut :
1.     Lokasi ini merupakan daerah kawasan wisata, karena itu pasti ada dampak pada daerah ini mengenai kebudayaan atau ritual yang di pertontonkan atau di jadikan daya tarik pengunjung.
2.     Adanya organisasi keagamaan yang membuat lokasi ini patut untuk di jadikan tempat observasi.
3.     Adanya ritual-ritual dan adanya makam keramat yang banyak di datangi wisatawan, hal ini merupakan pokok bahasan yang menarik dari sisi keagamaan.

1.7 Sistematika Laporan Observasi
A.       Halaman Judul , adalah nama yang diberikan untuk laporan observasi.
B.       Kata Pengantar, mengemukakan:
1. Ucapan terima kasih
2. Kendala saat proses pembuatan laporan
3. Harapan-harapan penulis dalam penyusun laporan
C.       Daftar isi
Merupakan penyajian dari sistematika isi laporan, dibuat untuk mempermudah para pembaca mencari judul atau sub judul dari isi laporan yang dibacanya.
D.    Pendahuluan, mengemukakan:
1. Latar belakang : merupakan alasan-alasan mengapa memilih judul observasi dan menjadi pembuka materi dalam laporan observasi.
2. Rumusan masalah : merumuskan masalah dari pembuatan laporan, dalam hal ini adalah perumusan masalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yaitu agama.
3. Maksud dan tujuan : mengemukakan maksud dan tujuan kelompok melakukan kegiatan observasi.
4. Tinjauan pustaka : menjelaskan dan menunjukan studi-studi yang sudah di lakukan oleh peneliti terdahulu.
5. Cara observasi : menjelaskan secaeamendalam bagaimana cara melakukan observasi atau pengamatan mulai daritahap persiapan sampai pada saat penyusunan laporan.
6. Lokasi observasi : Mendiskripsikan secara singkat wilayah/daerah yang dijadikan tempat atau lokasi observasi.
7. Sistematika hasil laporan : Uraian singkat mengenai struktur laporan kelompok mulai bab pertama sampai terkhir.
E.  Gambaran umum lokasi observasi
Menjelaskan tentang gambaran umum lokasi observasi yang  menyangkut kondisi lingkungan sosial dan budaya masayarakat, kondisi ekonomi, dan struktur sosial/agama.
F.  Pembahasan
Menjelaskan berbagai hal atau peristiwa keagamaan yang patut di bahas serta pendiskripsian bagaimana laporan itu di buat serta pendiskripsian kegiatan lapangan secara detail.
G.  Kesimpulan
Menjelaskan dan meringkas dari isi pembahasan serta jawaban dari masalah yang di rumuskan di dalam observasi.
H. Daftar pustaka
Mengemukakan sumber-sumber yang di jadikan referensi dalam penulisan laporan.
J.  Lampiran, mengemukakan:
1. Gambar kegiatan lapangan.
2. Pedoman wawancara.
3. Transkip hasil wawancara.




BAB 2. GAMBARAN UMUM



BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Kondisi umum sistem kepercayaan masyarakat pesisir
Islam merupakan agama yang dianut oleh hampir seluruh masyarakat pesisir Dusun watu ulo. Masyarakat disana mayoritas adalah orang Madura asli. Menurut referensi, orang madura dikatakan sebagai muslim yang taat dan cukup fanatik. Agama Islam berkembang di Madura yang dibawa dari pulau Jawa. Tapi walaupun masyarakat Madura  telah mengenal agama Islam sejak lama, beberapa tradisi ritual lama masih tetap dijalankan seperti tradisi ritual Pethik Laut
Masyarakat Madura yang dikatakan sebagai muslim yang taat tersebut, bisa dibuktikan dengan adanya kegiatan-kegiatan Islam di dusun watu ulo yang cukup aktif dan rutin dilakukan setiap minggu nya. Seperti yasinan, tahlilan dan ada pula kelompok khusus Sholawat. Bukan hanya para orang tua yang meramaikan dan mengurusi masjid tersebut, tapi juga ada beberapa anak muda yang tergabung dalam REMAS (Remaja Masjid).  Kegiatan yang dilakukan oleh remaja masjid tersebut yaitu pengajian rutin dan penggalangan dana untuk masjid. Hubungan antar masyarakatnya juga sangat baik, baik pada sesama penduduk asli watu ulo ataupun juga warga pendatang yang beragama islam atau pun non islam. Masyarakat suka saling berbagi saat ada acara hajatan dan juga saling bergotong royong.
Selain itu, di daerah watu ulo juga banyak terbangun pondok pesantren. Banyak juga memiliki prestasi yang cukup membanggakan yaitu juara Qiro’at 1 dan 2 se-Jember. Para remaja di dusun Watu Ulo  yang juga masuk pondok pesantren untuk belajar agama. Dan ada pula yang mengikuti pondok pesantren di luar daerah. Pondok pesantren di daerah tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Dusun Watu Ulo memiliki ajaran agama Islam yang cukup baik.
Namun menurut bapak Suto Wijoyo, salah seorang pengurus masjid besar Nurul Huda, perkembangan agama Islam di daerah tersebut tidak lebih baik dari zaman beliau saat kecil. Karena adanya pengaruh globalisasi yang menyebabkan masyarakat terutama para remajanya lebih mengikuti gaya hidup yang modern. Contohnya saja remaja putri yang berpakaian tidak sesuai dengan syariat agama setelah mereka keluar dari pondok pesantren, namun memang tidak semuanya seperti itu. Kemudian beliau juga mengatakan bahwa di zaman ini juga terdapat perkembangan agama yang sudah cukup baik dari segi kepercayaan masyarakat pada sesajen.  Pada zaman dulu, masyarakat nya banyak membuat sesajen hampir di seluruh sudut pedesaan. Sesajen ini dilakukan untuk keselamatan desa. Namun ada pula ritual kepercayaan yang masih belum bisa dihilangkan hingga saat ini yaitu ritual petik laut. Seiring berjalannya waktu dan karena adanya peran para kyai akhirnya ritual sesajen tersebut bisa dihilangkan. Usaha yang dilakukan oleh para kyai tersebut yaitu dengan mengajak tokoh-tokoh masyarakat seperti kepala dusun, ketua kelompok nelayan dan tokoh lainnya untuk ikut pengajian. Dari situlah, lambat laun ritual sesajen dapat dikurangi. Dan cara ini masih terus diusahakan hingga sekarang.
3.2 Ritual Petik Laut dan kepercayaan yang terkandung didalamnya
Tradisi dan budaya yang berkembang di Watu Ulo tidak dapat terlepas dari kondisi alam yang didominasi lautan luas Samudera Indonesia. Tradisi dan budaya nelayan menjadi dominan dalam masyarakat Watu Ulo.
Petik Laut atau ada yang menyebut dengan Larung Sesaji, salah satu tradisi tahunan yang ada di Watu Ulo, merupakan bentuk pengaruh kondisi alam yang didominasi oleh Lautan. Petik Laut dapat dilihat sebagai interaksi kehidupan manusia dengan alam semesta yang menyediakan berbagai sumber kehidupan baik itu ikan-ikannya maupun sumber daya alam lainnya.
Petik Laut merupakan tradisi syukur atas hasil laut yang didapatkan oleh masyarakat Watu Ulo. Tujuan dari diadakannya petik laut ini yaitu untuk merayakan keberhasilan penangkapan ikan oleh para Nelayan dan juga untuk melancarkan penangkapan ikan selanjutnya oleh para nelayan. Mereka percaya bahwa hasil laut yang mereka dapatkan tak terlepas dari bantuan penghuni gaib yang ada di laut. Sehingga masyarakat memberikan sesajen sebagai timbal balik atas rejeki hasil laut yang dilimpahkan pada mereka. Selain itu, adanya acara petik laut ini juga dimaksudkan untuk keselamatan warga Watu Ulo dan pengunjung pantai.  Ombak di pantai watu ulo terkenal sangat besar-besar. Sehingga tak jarang perahu nelayan terhempas ombak hingga karam. Sehingga cukup berbahaya dilewati perahu nelayan, karena di tempat sering terjadi perahu karam akibat diterpa ombak besar. Atau juga banyak terdapat pengunjung yang diseret ombak hilang dan tidak ditemukan kembali.
Ritual petik laut dilaksanakan 1 tahun sekali, yaitu saat bulan Syuro’. Acara nya dimulai dengan acara pengajian atau selametan sehari sebelum acara petik laut tersebut diadakan. Kemudian pada malam hari dilakukan pembacaan pakem oleh 3 orang tetua desa di sana semalam suntuk. Baru kemudian keesokan harinya masyarakat menanggap wayang yang isinya berkisah tentang laut dan bersinggungan pula dengan nyi Roro Kidul. Hingga kemudian  iringan drum band dan tari remong datang bersamaan dengan undangan yang hadir seperti pak camat dan kapolres setempat. Setelah itu, acara petik laut dilakukan yaitu dengan pelepasan kapal berisi sesajen-sesajen ke laut lepas tepat jam 3 dini hari diikuti oleh seorang warga untuk menjaga kapal tidak jatuh, karena sesajen yang sangat banyak. Setelah itu, pagelaran wayang di mainkan kembali.
Sesajen yang diberikan yaitu berisi kepala kambing, kepala sapi, ayam, buah-buahan, tebu dan masih banyak lagi. Sesajen yang disediakan harus pas dan ada pula yang memiliki simbol tertentu contohnya kepala kambing, kepala sapi dan daging lainnya yang memiliki simbol pengharapan masyarakat agar tidak ada korban yang berjatuhan. Selain kepala kambing, sapi dan ayam juga disediakan buah-buahan yang berjumlah 1000 buah. Dan sesajen tersebut diangkut penuh di satu kapal. Menurut pak Samsuri lagi, sesajen yag di berikan tidak boleh kurang, karena apabila makhluk gaib yang di beri sesajen kekurangan, maka banyak masyarakat yang kerasukan dan meminta sesajen  untuk ditambah. Hal ini dikarenakan makhluk gaib yang berada di lautan meminta timbal balik kepada warga masyarakat terutama nelayan atas hasil laut yang telah masyarakat ambil dari lautan. Uang untuk mengadakan serangkaian acara ritual petik laut tersebut berasal dari iuran para nelayan.
Dibalik ritual petik laut ternyata terdapat suatu kepercayaan mistis yag tumbuh dan mengakar kuat di tengah masyarakatnya. Yaitu adanya pengaruh dari Nyi Roro Kidul yang terkenal sebagai penguasa lautan pantai Selatan.  Menurut bapak Samsuru, ketua kelompok Nelayan di Watu Ulo, apabila tidak dilaksanakan petik laut, maka Nyi Ratu panggilaan masyarakat pada Nyi Roro Kidul, akan murka. Ditandai dengan timbulnya ombak yang besar dan kemudian banyak warga yang kerasukan makhluk halus hingga beberapa hari.dan hal tersebut pernah terjadi beberapa tahun yang lalu saat ritual petik laut pernah tidak dilakukan oleh masyarakat.
Bahkan menurut pak Samsuri, banyak wisatawan lokal yang jauh-jauh mengunjungi pantai Payangan hanya untuk bisa bertemu Nyi Roro Kidul.. Atau ada juga yang menyalahgunakan untuk mencari nomer togel. “Dibelakang bukit itu dalah taman istana Nyi Roro Kidul, setiap orang yang benar-benar suci dan melakukan pertapaan bisa menemui Nyi Ratu”  ujar pak Samsuri lagi. Dan menurut pengakuan dari pak Samsuri ketika ditemui kemarin, beliau pernah ditemui dalam mimpi oleh Nyi Ratu penguasa laut tersebut. Menurut beliau, Nyi Roro Kidul sangat cantik dan baik hati, sedangkan yang garang dan jahat adalah para punggawa istana Nyi Ratu.
Selain pak Samsuri, seorang pedagang makanan di pinggir pantai bernama Bu nurhayati juga memberi tanggapan yang sama mengenai adanya hubungan antara ritual petik laut dan Nyi Roro Kidul. Beliau juga memiliki cerita yang menurutnya sudah meluas di masyarakat.
             Ceritanya nya, dulu pernah ada seorang tukang bakso yang tengah duduk dipinggir jalan. Saat itu keadaan tengah sepi, lalu dari jauh terlihat kereta kencana yang bagus dan ditumpangi oleh seorang wanita cantik yang menyerupai manusia biasa. Beliau berhenti untuk memakan bakso dan disitu, wanita cantik tersebut bercerita dan berpesan kepada tukang bakso untuk memberitahukan warga bahwa harus segera dilakukan ritual petik laut. Masyarakat tidak boleh serakah, karena penghuni lautan sudah memberikan limpahan rejeki kepada masyarakat. Maka hendaknya masyarakat melakukan timbal balik dengan memberikan sesaji kepada makhluk gaib disana. Bu Nurhayati juga mengatakan hal yang sama dengan pak Samsuri, yaitu apabila petik laut tidak dilakukan oleh warga masyarakat atau pun ada sesajen yang kurang, maka banyak warga masyarakat yang kerasukan makhluk halus beberapa hari.
            Berdasarkan hasil observasi tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat Watu Ulo masih menganut sistem kepercayaan dinamisme disamping agama Islam yang merka anut saat ini. Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Mereka percaya terhadap kekuatan gaib dan kekuatan itu dapat menolong mereka. Kekuatan gaib itu terdapat di dalam benda-benda seperti keris, patung, gunung, pohon besar, dan lain-lain. Untuk mendapatkan pertolongan kekuatan gaib tersebut, mereka melakukan upacara pemberian sesaji, atau ritual lainnya. Dan kepercayaan terhadap kekuatan Nyi Roro Kidul yang memepengaruhi hasil tangkap para nelayan ini, termasuk salah satunya.
3.3 Kisah Ratu Kidul Dalam Mitos Jawa
            Nyi Roro Kidul adalah seorang ratu yang cantik bagai bidadari, kecantikannya tak pernah pudar di sepanjang zaman. Di dasar Laut Selatan, yakni lautan yang dulu disebut Samudra Hindia – sebelah selatan pulau Jawa, ia bertahta pada sebuah kerajaan makhluk halus yang sangat besar dan indah. Menurut referensi, pada mulanya Ratu Kidul adalah seorang wanita, yang berparas elok, ia bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia sering disebut Dewi Srengenge, yang artinya Matahari Jelita. Kadita adalah putri Raja Munding Wangi. Walaupun Kadita sangat elok wajahnya, Raja tetap berduka karena tidak mempunyai putra mahkota yang dapat disiapkan. Baru setelah Raja memperistrikan Dewi Mutiara lahir seorang anak lelaki. Akan tetapi, begitu mendapatkan perhatian lebih, Dewi Mutiara mulai mengajukan tuntutan-tuntutan, antara lain, memastikan anaknya lelaki akan menggantikan tahta dan Dewi Kadita harus diusir dari istana. Permintaan pertama diluluskan, tetapi untuk mengusir Kadita, Raja Munding Wangi tidak bersedia.
“Ini keterlaluan,” sabdanya.
“Aku tidak bersedia meluluskan permintaanmu yang keji itu,” sambungnya. Mendengar jawaban demikian, Dewi Mutiara malahan tersenyum sangat manis, sehingga kemarahan Raja, perlahan-lahan hilang. Tetapi, dalam hati istri kedua itu dendam membara.
Keesokan harinya, Mutiara pengutus inang mengasuh memanggil seorang tukang sihir, namanya Jahil. Kepadanya diperintahkan, agar kepada Dewi Kadita dikirimkan guna-guna.
“Bikin tubuhnya berkudis dan berkurap,” perintahnya. “Kalau berhasil, besar hadiah untuk kamu!” sambungnya. Jahil menyanggupinya. Malam harinya, tatkala Kadita sedang lelap, masuklah angin semilir ke dalam kamarnya. Angin itu berbau busuk, mirip bau bangkai. Tatkala Kadita terbangun, ia menjerit. Seluruh tubuhnya penuh dengan kudis, bernanah dan sangat berbau tidak enak.
Tatkala Raja Munding Wangi mendengar berita ini pada pagi harinya, sangat sedihlah hatinya. Dalam hati tahu bahwa yang diderita Kadita bukan penyakit biasa, tetapi guna-guna. Raja juga sudah menduga, sangat mungkin Mutiara yang merencanakannya. Hanya saja. Bagaimana membuktikannya. Dalam keadaan pening, Raja harus segera memutuskan.
Apa yang akan dilakukan terhadap Kadita. Atas desakan patih, putri yang semula sangat cantik itu mesti dibuang jauh agar tidak menjadikan aib.
Maka berangkatlah Kadita seorang diri, bagaikan pengemis yang diusir dari rumah orang kaya. Hatinya remuk redam; air matanya berlinangan. Namun ia tetap percaya, bahwa Sang Maha Pencipta tidak akan membiarkan mahluk ciptaanNya dianiaya sesamanya. Campur tanganNya pasti akan tiba. Untuk itu, seperti sudah diajarkan neneknya almarhum, bahwa ia tidak boleh mendendam dan membenci orang yang membencinya.
Siang dan malam ia berjalan, dan sudah tujuh hari tujuh malam waktu ditempuhnya, hingga akhirnya ia tiba di pantai Laut Selatan. Kemudian berdiri memandang luasnya lautan, ia bagaikan mendengar suara memanggil agar ia menceburkan diri ke dalam laut. Tatkala ia mengikuti panggilan itu, begitu tersentuh air, tubuhnya pulih kembali. Jadilah ia wanita cantik seperti sediakala. Tak hanya itu, ia segera menguasai seluruh lautan dan isinya dan mendirikan kerajaan yang megah, kokoh, indah dan berwibawa. Dialah kini yang disebut Ratu Laut Selatan.
Menurut cerita yang beredar Nyi Roro Kidul itu tak lain adalah seorang jin yang mempunyai kekuatan dahsyat. Hingga kini masih ada saja orang yang mencari kekayaan dengan jalan pintas yaitu dengan menyembah Nyi Roro Kidul. Mereka dapat kekayaan berlimpah tetapi harus mengorbankan keluarga dan bahkan akan mati sebelum waktunya, jiwa raga mereka akan dijadikan budak bagi kejayaan Keraton Laut Selatan.    



3.4 Mitos Ratu Kidul Dilihat Dalam Berbagai Perspektif
a. Dalam perspektif Filsafat
Ilmu filsafat menerangkan bahwa kehidupan manusia di bumi ini memiliki dua unsur kehidupan yang saling bertolak belakang namun saling melengkapi,keduanya itu adalah kehidupan lahiriyah dan rohaniyah. Misalnya, apabila kita memiliki pikiran yang baik dan pikiran baik itu menguassai jiwa kita maka akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari, dan sebaliknya.
Kisah Ratu Kidul ini dalam bahasan filsafat memberi wawasan tentang taktik dan siasat yang digunakan Mataram untuk mengantisipasi perang yang dilancarkan Pajang terhadap Mataram. Dari sisi filsafat cerita Ratu Kidul melukiskan adanya hubungan antara bahasa sehari-hari dan pengertian ilmiah melalui lambang-lambang filosofis, seperti ungkapan yang mempersonifikasikan Ratu Kidul seakan-akan suatu sosok pribadi. Kata ratu dalam bahasa umum memberi pengertian ‘wanita sebagai pemegang tampuk pimpinan pemerintahan’, sedang bila yang memegang kekuasaan seorang pria disebut raja. Di dalam bahasa filsafat, ‘wanita’ merupakan lambang pesona atau daya tarik.
Dengan demikian Ratu Kidul melambangkan kesadaran insani bahwa “yang duniawi itu” pada hakikatnya mempunyai pesona atau daya tarik yang luar biasa kuat, yang mampu menggoda serta menguasai hati, jiwa, dan kesadaran seseorang, bahkan sanggup meruntuhkan iman seseorang.
b. Dalam Perspektif Kawruh
Sejak zaman purbakala bangsa Indonesia telah mengenal dan Tuhan Yang Mahaesa yang dilambangkan dengan “lingga” dan “yoni”. Gambar lingga dan yono leluhur nusantara dapat ditemukan di dinding-dinding gua purba, gambar kelamin lelaki untuk lingga dan gambar kelamin perempuan untuk yoni. Dalam hal ini antara kawruh dan filsafat memiliki kesamaan. Namun juga memiliki perbedaaan dalam sudut pandang atau nilai ukurnya. Dalam perspektif ini Ratu Kidul melambangkan Ibu Pertiwi atau ilmu pengetahuan hidup yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam bentuk keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
c. Dalam Perspektif Budaya
Budaya merupakan nilai dasar yang dipakai dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Budaya yang memiliki nilai tinggi adalah budaya yang berorientasi pada sember nilai ilahi ketuhanan, sedangkan budaya yang memiliki nilai rendah adalah budaya berorientasi pada sumber nilai lahiriyah dan bersumber pada filsafat manusia.
Mitos Ratu Kidul dalam Budaya memberi pelajaran dan pengertian bahwa maju mundurnya kehidupan tergantung dari kualitas manusianya. Adapun kualitas manusia terbentuk dari nilai yang digunakan sebagai acuan dan ukuran hidupnya. Apabila yang digunakan nilai rendah maka orang tersebut akan memiliki watak dan tabiat yang rendah, memiliki kualitas hidup rendah, tercermin melalui cara berfikir rendah, cara berbicara rendah, dan perilaku rendah. Sebaliknya apabila yang digunakan nilai luhur tinggi maka orang tersebut akan memiliki watak yang luhur atau sering disebut “berbudi luhur”, memiliki kualitas hidup yang luhur, yang tercermin dalam cara berfikir, berbicara, bersikap, dan perilaku.


BAB 4. PENUTUP

4.1    Kesimpulan
1.      Masyarakat di dusun Watu ulo mayoritas muslim.
2.      Banyak acara keagamaan yang masih di lakukan seperti pengajan rutin dan tahlilan dan selametan.
3.      Masyrakat di dusun Watu ulo merupakan penganut ajaran agama yang taat akan tetapi masih mempercayai ritual.
4.      Masih adanya warga yang mempercayai adanya reinkarnasi pada leluhur mereka.
5.      Masyarakat tidak terlalu meributkan tentang masalah beda keagamaan.
6.      Masyarakat cenderung bersosialisasi dengan baik walau beda paham.
7.      Warga tidak terlalu meributkan tentang masalah beda organisasi keagamaan.





DAFTAR PUSTAKA
Baal, J., Van. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Terj. Piry, Jakarta : PT. Gramedia.
Cassier, Ernest. 1990. Manusia dan Kebudayaan. Terj. Alois A. Nugroho. Jakarta : PT. Gramesia.
Petik Laut Pantai Watu Ulo beritajember on Dec 07, 2012

Fananie, Zainudin. 2005. Restrukturisasi Budaya Jawa. Surakarta : MUP-UMS.

Koentjaraningrat
Syam, Nur, 2005, Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS.
Geertz, Clifford, 1983, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa yang di adaptadi dari buku The Religion of Java. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.
Agus, Bustanudin , 2006,Agama dalam Kehidupan Manusia, Jakarta : RAJAGRAFINDO PERSADA.
Woodward, Mark R, 1999, Islam Jawa, Yogyakarta : LkiS
Hasil wawancara dengan Pak Suto Wijoyo (pengurus masjid)
Hasil wawancara dengan Pak Samsuri (ketua kelompok nelayan)
Hasil wawancara dengan Bu nurhayati (pedagang di pesisir pantai)
Hasil wawancara dengan Bu juminem (warna asli dusun watu ulo)

Hasil wawancara dengan Pak Makmur (nelayan di dusun watu ulo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar