Selasa, 21 Januari 2014

Cerpen : Maling Berkedok Mahasiswi Keperawatan UNMUH

Maling Berkedok Mahasiswi Keperawatan UNMUH


Ira, itulah nama gadis misterius ber-rok mini kuning, berkacamata Hello kitty, dan bando kuning di kepalanya. Awal bertemu, perempuan itu begitu lugu dan polos, penampilannya sosok anak kuliahan. Pertemuanku berawal di tempat foto kopian Amore dengan seorang diri.
“ Mbak, kos dimana?” , sapa perempuan itu yang baru saja sampai di depan konter pulsa sebelah foto kopian Amore.
“Di Mastrip?Ada apa ya?”
“Kamarnya ada yang kosong mbak? Saya mau kos, cari-cari kos dari tadi gak dapet-dapet”, tanyanya dengan memasang tampang melas sok imut dan logat Bahasa Inodonesia ke-Jawa-jawan.
Tanpa ada rasa keraguan dan terfikir sedikit apa pun pertanyaan itu langsung ku jawab, “Ada, tapi cuma 1 dek. Adek ini emangnya dari mana? Kok sendirian?”. Aku rasa dia sosok yang lebih muda dari umur ku dan tentunya dari cara berpakaiannya terlihat lebih modis dan mungkin anak muda bilang lebih ngetrend, dengan rok mini di atas lutut.
“Mmmm...tadi saya sama temen mbak, tapi temen saya masih nyari kos juga gak nemu-nemu. Saya dari Banyuwangi mbak, rumah saya Genteng, saya kuliah di UNMUH.”
“Ooo....sama dong, rumahku Banyuwangi juga”, saat mendengar kata Banyuwangi seperti bertemu saudara seperjuangan senasib seperadaban dengan rasa yang sangat girang dalam hati. Rasanya tidak ingin meninggalkan anak ini seorang diri. Simpatiku pada perempuan itu mulai timbul.
“Sekarang mau lihat kos ta?” Tanyaku kembali.
“Kalau boleh saya minta tolong boleh mbak? Lihat kosnya mbak?”
“Boleh dek, tapi bu kosnya gak ada, nanti tak antar ke bu kos deh”
“Waduh, ngrepotin mbaknya nih?”, jawabnya dengan raut muka sok sungkan tapi terlihat penuh harapan.
“Ayo sudah dek, kosku deket sini di Mastrib”
“Iya mbak”.
Dengan kemolekan kakinya berwarna sawo matang, tapi terlalu matang jadi kesannya kakinya berwarna coklat gelap. Gadis itu beranjak duduk di sadel sepedah motorku, tanpa ada kata permisi perempuan itu dengan tegas dan cepat langsung duduk sampai kakiku hampir terperosok dan uling, namun aku tetap berusaha menahan berat tubuhnya itu, dapat dibilang overweight.
Disela-sela mengendarai sepedah motor menuju kos Jl. Mastrib II no.45, gadis itu mengajakku ngobrol. Banyak sekali yang kita perbincangkan tentang perkuliahan. Saat itulah aku sedikit tau seluk beluk gadis tersebut. Seorang mahasiswi jurusan keperawatan semester 1 yang belum pernah mengekos di Jember, jadi gadis itu sebelumnya pulang pergi dari rumah alias PP ke kampus. Sebenarnya dalam hati menyimpan beribu banyak pertanyaan, namun tidak mungkin ku lontarkan satu persatu dari sekian ribu pertanyaan, karena melihat gadis ini sepertinya masih lelah setelah perjalanan dari Kota Banyuwangi.
Tiga menitan berlalu, sampailah di kos Jl. Mastrib II no.45. Sebelum membuka gerbang, sempat terlontar pertanyaan dari ribu pertanyaan yang aku simpan, “Ibunya adek mau ke sini berarti ya..emang adek mau ngekos kapan, terus barang-barangnya juga gimana?”
“O iya, mamaku ntar lagi tak suruh ke sini aja ya mbak? Kalau barang-barangnya besok hari Minggu, ngekosnya tapi hari Senin, tapi habis ini anterin ke bu kosnya bisa ya mbak?”
“Iya bisa, ntar smean lihat dulu kamarnya, soalnya gak begitu luas. Masuk ke dalam dulu dek, kunci kamarnya ada di bu kos, nanti sekalian minta kunci ke bu kos.”
Dengan keadaan kos yang masih berantakan dan barang-barang berceceran dilantai, aku persilahkan gadis itu duduk diruang tamu beralaskan ambal atau karpet. Sambil memain-mainkan rambutnya, pandangannya tidak lepas dari barang-barang dan dinding-dinding di dalam kos yang baru saja di renovasi dua minggu yang lalu. Pada saat detik itulah aku mulai ada rasa yang mengganjal dengan sikap gadis itu. Segera mungkin aku masuk kamar dan membereskan barang-barang yang berceceran. Sorotan mata gadis tersebut terlihat disela-sela pintu, dia mencoba menengok kamarku, namun aku cepat keluar dari kamar dan menguncinya.
“Ayo dek ke rumah bu kos, gak jauh kok”. Rasanya aku ingin cepat mengantarkan gadis itu ke rumah bu kos, segera memperlihatkan kamar, dan berharap tidak tertarik dengan kamar kosong itu. 
“Mbak, aku kok ngrepotinya ya? Mbaknya habis ini mau ke mana?”
Sesekali gadis itu menata rambutnya. Jawabku, “Gak apa-apa, ayo dah tak anter. Waahhh.. sebenarnya saya mau nemui ibu saya dek di Kebonsari, nanti dah habis pulang dari rumah bu kos.”
Sebelum dia beranjak duduk di sepedah motor, aku kuat-kuatkan kakiku untuk menyangga beban berat tubuhnya yang overweight dengan modal Bismillah dan hati-hati. Diperjalanan entah kenapa masih saja banyak pikiran-pikiran tentang gadis itu. Pikiranku mulai tidak konsen, sesekali di tengah perjalanan tatapanku kosong tidak ada tujuan.
Beberapa menit kemudian sampailah di rumah Bu Jumarti. Ada dua orang laki-laki sedang duduk di teras rumahnya.
“Assalamualaikum, mas permisi, Bu Jumarti ada?”, sapaku ramah.
“Oh, ada dek, masuk aja, ada di dalam.”
Aku dan gadis itu masuk ke dalam. Bu Jumarti ternyata sedang duduk di ruang tamu sedang sibuk dengan laptopnya. Dari kejauhan senyumannya terlihat sumringah, tau bahwasannya aku mengajak seorang gadis yang akan mengekos. Aku langsung berjabat tangan dan duduk.
“Ada apa mbak?”
“Ini bu, mahasiswa UNMUH mau kos, mau lihat kamarnya dulu, masih semester satu bu, rumahnya Banyuwangi.”
“O..masih saudara ya?”
“Ndak bu, ini tadi saya ketemu di foto kopian Amore, saya gak kenal. Tiba-tiba tanya kos kosong dan akhirnya saya ajak ke sini bu.” Jawabku tegas dengan sedikit suara lirih.
Beberapa detik suasana terdiam. Mendengar jawabanku, Bu Jumarti manggut-manggut.
“Ini Bu KTP saya,” sahut gadis itu dengan memberikan KTP nya pada Bu Jumarti
“Ndak usah wes mbak, saya percaya sama smean orang baik-baik”, tanpa ada rasa ragu Bu Jumarti menolak sodoran KTP gadis itu. “Ini saya kasih kuncinya sama mbak diah, nanti tolong kalau sudah jadi ngekos langsung ke sini, tapi barang-barang saya masih di situ, mau ditaruh mana ya? O..gampang wes besok biar saya angkut ke sini.” Sambil menyodorkan kuncinya, aku beranjak dari tempat duduk, berdiri, dan mohon pamit untuk segera ke kos untuk memperlihatkan kamar kosong.
Setelah sampai di kos, aku buka kamar kosong itu. Terlihat sempit, gelap, pengap, tapi tempat tidur tertata rapi. Gadis itu masuk kamar dan melihat-lihat keadaan kamar. Dia mencoba menghidupkan lampu, namun lampu di kamar itu tidak menyala.
“Ini lampunya rusak dek, biar nanti bu kos yang benahin. Kalau mau lihat kamar mandi ini di belakang, ada dua. Gimana? Nyaman gak kamarnya?soalnya emang kayak gini, agak sempit.”
Gadis itu tampak sumringah memandangi langit-langit kamar sambil duduk di atas kasur. Rambutnya yang terurai panjang sesekali dimain-mainkan dengan jari-jarinya.
“Iya wes mbak, gak apa-apa. Mamaku habis ini ke sini.”
“Habis ini aku mau nemui ibuku dek, gimana. Tak suruh nemenin temenku dulu ya, ada di lantai atas.”
“Gak usah wes mbak, gak apa-apa aku sendirian, beneran gak apa-apa.”
Sahutku, “Oh!Jangan dek! Ayo ikut aku wes ke lantai atas, sama temenku dulu samean!”
Terlihat barang-barang tercecer dimana-mana, rasa khawatir pun mulai muncul. Di kamar tepatnya di bawah tangga, temanku yang bernama Rika sedang tertidur pulas. Pintu kamarnya terbuka lebar.
Aku naik ke lantai atas bersama gadis itu, tepatnya di ruang TV kos. Ada temanku yang sedang asik main laptopnya sambil menonton TV. Sepertinya dia sedang sibuk membereskan nota-nota acara diklat yang diselenggarakan kemarin. Ruangan lantai atas ternyata jauh lebih banyak barang-barang yang tercecer, baju, kardus, kertas, laporan, semuanya itu memenuhi ruang TV.
“Mad, iki arek ape kos kene, konconi sek yo, aku ape neng ibuku, ndek Kebonsari.”
Kadita merespon dengan wajah kaget sambil menyeringitkan alisnya, “Oh! Iyo ta?... Iya wes.”
Aku langsung menuruni tangga dan mengendarai sepedah ke Indomaret untuk membeli pulsa. Setelah itu menghubungi ibu. Ternyata ibu dan bapakku masih sibuk bertemu dengan client kerja. Bertemu ibu ke Kebonsari pun batal karena aku tak ingin mengganggu mereka. Inginnya menghindari gadis itu, tapi bagaimana ya? Gadis aneh. Mahasiswa UNMUH tapi ngekos di Mastrib. Bukannya jauh ya dari UNMUH? Lihat kamar kos yang sempit, gelap, pengap kok langsung positif pengen kos ya? Padahal sudah banyak orang melihat kamar itu tapi banyak orang yang tidak srek atau cocok. O iya...aku kok belum tau namanya? Kenapa tadi dia tidak mengajakku berkenalan ya?
Selama perjalanan munculah pertanyaan dan fikiran-fikiran. Yang awalnya seribu pertanyaan, kini menjadi dua kali lipatnya. Pikiranku menjadi tidak tenang. Terfikir teman-temanku yang di kos menemani gadis itu. Untuk menghilangkan rasa khawatirku, aku mengirim SMS pada Kadita, Mad, ati-ati, sebener e iku mau aku gak kenal ambi arek iku, tadi ketemu di Amore.
Sampailah di depan kos, sepedah aku parkiran di kos sebelah tempat parkir sepedah. Aku tidak langsung memasuki kos. Aku ingin menghilangkan rasa khawatir ini. Rasanya hidup tidak tenang dan selalu dikejar-kejar rasa takut.  Yah... satu mangkuk bakso cukup untuk mengusir rasa takut itu. Tepat di sebelah kos ada warung bakso. Tapi walaupun sudah menyantap bakso yang masih hangat-hangatnya, rasa takut tidak begitu langsung hilang. Tidak senikmat biasanya menyantap bakso. Setelah membayar, aku langsung menuju kos. Ternyata gadis sawo matang berambut panjang itu sudah memapakku di depan gerbang.
“Lho, Mbak! Sepedahnya Mbak di mana?”, tanyanya sambil mencari-cari sepedah motor yang ku parkir di kos sebelah.
“Itu dek di kos sebelah.”
Tanpa ada kata lagi sepatah apapun aku langsung menuju lantai atas dan gadis itu membuntutiku. Kadita masih terlihat sibuk mengurusi nota-nota dari  30 menitan yang lalu. Kertas-kertas banyak berceceran dan terdengar suara TV yang nyaring. Gadis itu duduk bersama ku dan Kadita melihat TV.
“Aduuhh! Aku kok gatal-gatal ya habis mandi? Airnya kok gini ya Mbak?”, gerutu gadis itu secara tiba-tiba sambil menggaruk-garuk tangannya.
Aku sedikit kaget mendengar kata ‘mandi’.
“Habis mandi ta dek?”
“Iya barusan.” Sambil sibuk menggaruk-garuk, “Aku gak cocok airnya Mbak.”
“Lho iya ta? Soalnya airnya PAM dek, ada kaporitnya.”
Perbincangan kemudian terhenti tiba-tiba ketika terdengar suara, “Assalamualaikum!”
“Wa’alaikum salam”, jawabku, Kadita, dan gadis itu.
Sosok perempuan menaiki tangga tiba-tiba muncul. Suara kakinya terdengar, “Buk..buk..buk..buk..buk”. Aku sangat mengenali suara langkah kakinya. Siapa lagi kalau bukan Silvina. Sampainya di lantai atas, Silvina melebarkan senyumnya dan tercengang melihat gadis yang tidak dikenalnya itu duduk bersamaku dan Kadita. Kadita langsung menatap Silvina.
“Sil, iki arek ape ngekos kene”, ucap Kadita, kemudian kembali fokus ke laptopnya.
“Oalah...dulurmu to di?”
“Uduk! Tapi podo Banyuwangi”, jawabku.
“Tak kiro dulurmu Di.”
Setelah itu Silvina masuk ke kamarnya dengan langkah gontai. Seharian di kampus membuatnya seperti orang yang sudah tidak berdaya. Aku lihat dia langsung merebahkan badannya di kasur sambil membuka laptop dan memutar film. Daripada duduk bersama gadis yang baru aku kenal itu, aku lebih tertarik menghampiri Silvina yang sedang asik menonton film korea dan ikut merebahkan tubuh di kasurnya. Karena tidak bisa menahan rasa curiga dan khawatir, semua asal-muasal gadis itu kuceritakan padanya. Silvina ternyata menyimpan rasa curiga. Ceritaku tiba-tiba terhenti, gadis itu mendekatiku dan Silvina sambil memeluk boneka yang ada di kamar Silvina. Kadita juga tiba-tiba masuk kamar.
“Mbak ini semua agamanya Islam ya?”, tanya gadis itu.
“Iya dek”, jawabku, Silvina, dan Kadita bersamaan.
“Kalau saya Budha.”
Kemudian Kadita dan gadis itu keluar dari kamar Silvina dan duduk kembali di ruang TV. Masih saja Kadita sibuk dengan laptopnya sambil ngobrol dengan gadis itu. Kertas-kertas yang semula berceceran kini sudah ditatanya rapi. Aku tidak begitu mendengar obrolan mereka karena lebih tertarik menonton film korea daripada memperhatikan gadis itu. Yang kulihat kemudian gadis itu menuruni tangga sambil membawa tas. Satu tiga menit kemudian aku mengikutinya dan aku lihat mencegatku di lantai bawah ujung tangga.
“Rik, arek wedok iku mau neng ndi?”
“Sopo iku Di? Metu kene mau, mlaku.”
“Iyo ta Rik? Gak pamitan?!”
“Ndak Di, ket mau sliwar-sliwer nek ngarep kamarku, terus nakok i aku, ‘Kos di sini ya?’, terus yo tak jawab, ‘Iya’.”
“Iku mau arek anyar Rik, ape ngekos kene, ngenteni ibuk e, tapi kok moro-moro ilang gak pamitan aku pisan, padahal mau rene karo aku.”
“Aku tangi turu mau kaget Di, kok enek arek wedok, sopo iku, sliwar-sliwer pisan.”
Rasa khawatir bercampur takut, curiga, Su’udzon mulai menajam. Kini sudah tidak lagi aneh gadis itu, tapi misterius. Aku buka kamar kosong itu, dia tidak meninggalkan apapun kecuali kertas yang berisi tulisan-tulisan tentang kesehatan. Aku lihat barang-barang disekeliling kos tidak ada yang berubah dan tidak ada yang berkurang. Sepedahku yang terparkir di depan kos juga masih ada.
“ Mad!Mad!Mad!.....”, terdengar teriakan Kadita dari lantai atas, “Dompetku nangdi yo kok gak enek!”.
Aku langsung lari menaiki tangga menuju lantai atas. Melihat kondisi Kadita yang sedang bingung mencari dompetnya, pikiranku tidak lepas dari gadis itu. Ya...itu..! Gadis itu!Gadis itu!. Kertas-kertas yang mulanya tertata rapi aku ocak-acik. Tas ransel Kadita aku bolak-balik, dompetnya tidak ada.
“Arek iku mau nengdi mad?!”
“Gak eruh mad, mau ngomong e tinggal nunggu Mama.”
Semua penghuni kos kebingungan campur takut. Rika sibuk menata barang-barang yang ada dikamarnya. Silvina melihat-lihat barang-barang di kamarnya apakah ada yang berkurang. Sedangkan Kadita terus mencari-cari dompetnya.
“Arek iku mau mad seng njupok berarti! Tasmu mau nek ngarep e arek iku ta? Dompet e neng kunu pisan?”
“Iyo mad! Aku yo gak nangndi-ndi, ket mau ambek arek iku ndelok TV. Tapi aku kok gak ndelok arek iku njipuk dompetku, gak eruh aku mad.”
Kadita sekarang terlihat benar benar benar kebingungan. Raut mukanya suram. Dan ternyata di dompetnya ada material penting seperti ATM , KTP, uang untuk membayar SPP. Berkali-kali aku, Rika, Silvina membongkar barang-barang di ruang TV, dompet Kadita yang berwarna coklat itu tidak ditemukan. Siapa lagi? Siapa yang jadi tersangka? Apakah gadis itu? Aku hanya bisa tercengang dan terdiam duduk di ujung tangga. Kadita dan Silvina ke luar kos mengejar gadis itu dengan mengendarai sepedahku.
Awal bertemu gadis itu, aku yang membawanya kemari. Niatku baik membantunya namun berujung membawa musibah pada temanku. Siapakah yang salah? Apakah aku yang mudah dibohongi orang atau memang gadis berkedok pencuri itu? Kenapa begitu bodoh ya? Yang bodoh aku atau gadis itu? Atau kedua-duanya bodoh? Gadis rok mini, berkacamata hello Kitty, mahasiswi UNMUH tapi beragama Budha, mahasiswi UNMUH tapi mencari kos di Jl. Mstrib jarak tempuh sekitar 1 KM, sempat mandi di kos, mau kos dengan kamar sempit tanpa ada rasa penolakan, memperlihatkan KTP pada bu kos, jauh ke kampus PP tiap hari, dan kata-kata terakhirnya sebelum meninggalkan kos ini, ‘Tinggal nunggu Mama’.
Astagfirullah, kini aku baru sadar, semua itu modus belaka berkedok mahasiswi keperawatan UNMUH. Tinggalah bayang jejak-jejak kaki gadis itu, namanya Ira, asal dari Banyuwangi. Satu kota, seperadaban, saudaraku, ternyata penipu, pencuri, pencopet. Kota Banyuwangi, saudaraku, tak rela gadis itu lahir di kota itu. Kotaku yang penuh kedamaian dan ketenangan ternodai oleh gadis yang membawa musibah ke tempat aku tinggal bersama teman-temanku, Kota Jember. Tidak bisa dipungkiri, kadang niat baik belum tentu menghasilkan dampak yang baik. Namun tetap pikirkan apakah niat baik itu juga baik untuk orang lain di sekitar kita. Utamakan berniatlah baik untuk banyak orang dibandingkan hanya untuk seseorang. Tapi semua niat baik itu akan menjadi catatan baik amal kita di akhirat nanti. Malaikat dan Allah tidak pernah tidur. Segala tindakan pasti diawasi oleh-Nya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar