Maling
Berkedok Mahasiswi Keperawatan UNMUH
Ira,
itulah nama gadis misterius ber-rok mini kuning, berkacamata Hello kitty, dan
bando kuning di kepalanya. Awal bertemu, perempuan itu begitu lugu dan polos,
penampilannya sosok anak kuliahan. Pertemuanku berawal di tempat foto kopian
Amore dengan seorang diri.
“
Mbak, kos dimana?” , sapa perempuan itu yang baru saja sampai di depan konter
pulsa sebelah foto kopian Amore.
“Di
Mastrip?Ada apa ya?”
“Kamarnya
ada yang kosong mbak? Saya mau kos, cari-cari kos dari tadi gak dapet-dapet”, tanyanya
dengan memasang tampang melas sok imut dan logat Bahasa Inodonesia ke-Jawa-jawan.
Tanpa
ada rasa keraguan dan terfikir sedikit apa pun pertanyaan itu langsung ku
jawab, “Ada, tapi cuma 1 dek. Adek ini emangnya dari mana? Kok sendirian?”. Aku
rasa dia sosok yang lebih muda dari umur ku dan tentunya dari cara
berpakaiannya terlihat lebih modis dan mungkin anak muda bilang lebih ngetrend, dengan rok mini di atas lutut.
“Mmmm...tadi
saya sama temen mbak, tapi temen saya masih nyari kos juga gak nemu-nemu. Saya
dari Banyuwangi mbak, rumah saya Genteng, saya kuliah di UNMUH.”
“Ooo....sama
dong, rumahku Banyuwangi juga”, saat mendengar kata Banyuwangi seperti bertemu
saudara seperjuangan senasib seperadaban dengan rasa yang sangat girang dalam
hati. Rasanya tidak ingin meninggalkan anak ini seorang diri. Simpatiku pada
perempuan itu mulai timbul.
“Sekarang
mau lihat kos ta?” Tanyaku kembali.
“Kalau
boleh saya minta tolong boleh mbak? Lihat kosnya mbak?”
“Boleh
dek, tapi bu kosnya gak ada, nanti tak antar ke bu kos deh”
“Waduh,
ngrepotin mbaknya nih?”, jawabnya dengan raut muka sok sungkan tapi terlihat
penuh harapan.
“Ayo
sudah dek, kosku deket sini di Mastrib”
“Iya
mbak”.
Dengan
kemolekan kakinya berwarna sawo matang, tapi terlalu matang jadi kesannya
kakinya berwarna coklat gelap. Gadis itu beranjak duduk di sadel sepedah
motorku, tanpa ada kata permisi perempuan itu dengan tegas dan cepat langsung
duduk sampai kakiku hampir terperosok dan uling, namun aku tetap berusaha
menahan berat tubuhnya itu, dapat dibilang overweight.
Disela-sela
mengendarai sepedah motor menuju kos Jl. Mastrib II no.45, gadis itu mengajakku
ngobrol. Banyak sekali yang kita perbincangkan tentang perkuliahan. Saat itulah
aku sedikit tau seluk beluk gadis tersebut. Seorang mahasiswi jurusan
keperawatan semester 1 yang belum pernah mengekos di Jember, jadi gadis itu
sebelumnya pulang pergi dari rumah alias PP ke kampus. Sebenarnya dalam hati
menyimpan beribu banyak pertanyaan, namun tidak mungkin ku lontarkan satu
persatu dari sekian ribu pertanyaan, karena melihat gadis ini sepertinya masih
lelah setelah perjalanan dari Kota Banyuwangi.
Tiga
menitan berlalu, sampailah di kos Jl. Mastrib II no.45. Sebelum membuka
gerbang, sempat terlontar pertanyaan dari ribu pertanyaan yang aku simpan,
“Ibunya adek mau ke sini berarti ya..emang adek mau ngekos kapan, terus barang-barangnya
juga gimana?”
“O
iya, mamaku ntar lagi tak suruh ke sini aja ya mbak? Kalau barang-barangnya
besok hari Minggu, ngekosnya tapi hari Senin, tapi habis ini anterin ke bu
kosnya bisa ya mbak?”
“Iya
bisa, ntar smean lihat dulu kamarnya, soalnya gak begitu luas. Masuk ke dalam
dulu dek, kunci kamarnya ada di bu kos, nanti sekalian minta kunci ke bu kos.”
Dengan
keadaan kos yang masih berantakan dan barang-barang berceceran dilantai, aku
persilahkan gadis itu duduk diruang tamu beralaskan ambal atau karpet. Sambil
memain-mainkan rambutnya, pandangannya tidak lepas dari barang-barang dan
dinding-dinding di dalam kos yang baru saja di renovasi dua minggu yang lalu.
Pada saat detik itulah aku mulai ada rasa yang mengganjal dengan sikap gadis
itu. Segera mungkin aku masuk kamar dan membereskan barang-barang yang
berceceran. Sorotan mata gadis tersebut terlihat disela-sela pintu, dia mencoba
menengok kamarku, namun aku cepat keluar dari kamar dan menguncinya.
“Ayo
dek ke rumah bu kos, gak jauh kok”. Rasanya aku ingin cepat mengantarkan gadis
itu ke rumah bu kos, segera memperlihatkan kamar, dan berharap tidak tertarik
dengan kamar kosong itu.
“Mbak,
aku kok ngrepotinya ya? Mbaknya habis ini mau ke mana?”
Sesekali
gadis itu menata rambutnya. Jawabku, “Gak apa-apa, ayo dah tak anter. Waahhh..
sebenarnya saya mau nemui ibu saya dek di Kebonsari, nanti dah habis pulang
dari rumah bu kos.”
Sebelum
dia beranjak duduk di sepedah motor, aku kuat-kuatkan kakiku untuk menyangga
beban berat tubuhnya yang overweight
dengan modal Bismillah dan hati-hati.
Diperjalanan entah kenapa masih saja banyak pikiran-pikiran tentang gadis itu.
Pikiranku mulai tidak konsen, sesekali di tengah perjalanan tatapanku kosong
tidak ada tujuan.
Beberapa
menit kemudian sampailah di rumah Bu Jumarti. Ada dua orang laki-laki sedang
duduk di teras rumahnya.
“Assalamualaikum,
mas permisi, Bu Jumarti ada?”, sapaku ramah.
“Oh,
ada dek, masuk aja, ada di dalam.”
Aku
dan gadis itu masuk ke dalam. Bu Jumarti ternyata sedang duduk di ruang tamu
sedang sibuk dengan laptopnya. Dari kejauhan senyumannya terlihat sumringah,
tau bahwasannya aku mengajak seorang gadis yang akan mengekos. Aku langsung
berjabat tangan dan duduk.
“Ada
apa mbak?”
“Ini
bu, mahasiswa UNMUH mau kos, mau lihat kamarnya dulu, masih semester satu bu,
rumahnya Banyuwangi.”
“O..masih
saudara ya?”
“Ndak
bu, ini tadi saya ketemu di foto kopian Amore, saya gak kenal. Tiba-tiba tanya
kos kosong dan akhirnya saya ajak ke sini bu.” Jawabku tegas dengan sedikit
suara lirih.
Beberapa
detik suasana terdiam. Mendengar jawabanku, Bu Jumarti manggut-manggut.
“Ini
Bu KTP saya,” sahut gadis itu dengan memberikan KTP nya pada Bu Jumarti
“Ndak
usah wes mbak, saya percaya sama smean orang baik-baik”, tanpa ada rasa ragu Bu
Jumarti menolak sodoran KTP gadis itu. “Ini saya kasih kuncinya sama mbak diah,
nanti tolong kalau sudah jadi ngekos langsung ke sini, tapi barang-barang saya
masih di situ, mau ditaruh mana ya? O..gampang wes besok biar saya angkut ke
sini.” Sambil menyodorkan kuncinya, aku beranjak dari tempat duduk, berdiri,
dan mohon pamit untuk segera ke kos untuk memperlihatkan kamar kosong.
Setelah
sampai di kos, aku buka kamar kosong itu. Terlihat sempit, gelap, pengap, tapi
tempat tidur tertata rapi. Gadis itu masuk kamar dan melihat-lihat keadaan
kamar. Dia mencoba menghidupkan lampu, namun lampu di kamar itu tidak menyala.
“Ini
lampunya rusak dek, biar nanti bu kos yang benahin. Kalau mau lihat kamar mandi
ini di belakang, ada dua. Gimana? Nyaman gak kamarnya?soalnya emang kayak gini,
agak sempit.”
Gadis
itu tampak sumringah memandangi langit-langit kamar sambil duduk di atas kasur.
Rambutnya yang terurai panjang sesekali dimain-mainkan dengan jari-jarinya.
“Iya
wes mbak, gak apa-apa. Mamaku habis ini ke sini.”
“Habis
ini aku mau nemui ibuku dek, gimana. Tak suruh nemenin temenku dulu ya, ada di
lantai atas.”
“Gak
usah wes mbak, gak apa-apa aku sendirian, beneran gak apa-apa.”
Sahutku,
“Oh!Jangan dek! Ayo ikut aku wes ke lantai atas, sama temenku dulu samean!”
Terlihat
barang-barang tercecer dimana-mana, rasa khawatir pun mulai muncul. Di kamar
tepatnya di bawah tangga, temanku yang bernama Rika sedang tertidur pulas.
Pintu kamarnya terbuka lebar.
Aku
naik ke lantai atas bersama gadis itu, tepatnya di ruang TV kos. Ada temanku
yang sedang asik main laptopnya sambil menonton TV. Sepertinya dia sedang sibuk
membereskan nota-nota acara diklat yang diselenggarakan kemarin. Ruangan lantai
atas ternyata jauh lebih banyak barang-barang yang tercecer, baju, kardus,
kertas, laporan, semuanya itu memenuhi ruang TV.
“Mad,
iki arek ape kos kene, konconi sek yo, aku ape neng ibuku, ndek Kebonsari.”
Kadita
merespon dengan wajah kaget sambil menyeringitkan alisnya, “Oh! Iyo ta?... Iya
wes.”
Aku
langsung menuruni tangga dan mengendarai sepedah ke Indomaret untuk membeli
pulsa. Setelah itu menghubungi ibu. Ternyata ibu dan bapakku masih sibuk
bertemu dengan client kerja. Bertemu ibu ke Kebonsari pun batal karena aku tak
ingin mengganggu mereka. Inginnya menghindari gadis itu, tapi bagaimana ya?
Gadis aneh. Mahasiswa UNMUH tapi ngekos di Mastrib. Bukannya jauh ya dari
UNMUH? Lihat kamar kos yang sempit, gelap, pengap kok langsung positif pengen
kos ya? Padahal sudah banyak orang melihat kamar itu tapi banyak orang yang
tidak srek atau cocok. O iya...aku kok belum tau namanya? Kenapa tadi dia tidak
mengajakku berkenalan ya?
Selama
perjalanan munculah pertanyaan dan fikiran-fikiran. Yang awalnya seribu
pertanyaan, kini menjadi dua kali lipatnya. Pikiranku menjadi tidak tenang.
Terfikir teman-temanku yang di kos menemani gadis itu. Untuk menghilangkan rasa
khawatirku, aku mengirim SMS pada Kadita, Mad,
ati-ati, sebener e iku mau aku gak kenal ambi arek iku, tadi ketemu di Amore.
Sampailah
di depan kos, sepedah aku parkiran di kos sebelah tempat parkir sepedah. Aku
tidak langsung memasuki kos. Aku ingin menghilangkan rasa khawatir ini. Rasanya
hidup tidak tenang dan selalu dikejar-kejar rasa takut. Yah... satu mangkuk bakso cukup untuk
mengusir rasa takut itu. Tepat di sebelah kos ada warung bakso. Tapi walaupun
sudah menyantap bakso yang masih hangat-hangatnya, rasa takut tidak begitu
langsung hilang. Tidak senikmat biasanya menyantap bakso. Setelah membayar, aku
langsung menuju kos. Ternyata gadis sawo matang berambut panjang itu sudah
memapakku di depan gerbang.
“Lho,
Mbak! Sepedahnya Mbak di mana?”, tanyanya sambil mencari-cari sepedah motor
yang ku parkir di kos sebelah.
“Itu
dek di kos sebelah.”
Tanpa
ada kata lagi sepatah apapun aku langsung menuju lantai atas dan gadis itu
membuntutiku. Kadita masih terlihat sibuk mengurusi nota-nota dari 30 menitan yang lalu. Kertas-kertas banyak
berceceran dan terdengar suara TV yang nyaring. Gadis itu duduk bersama ku dan
Kadita melihat TV.
“Aduuhh!
Aku kok gatal-gatal ya habis mandi? Airnya kok gini ya Mbak?”, gerutu gadis itu
secara tiba-tiba sambil menggaruk-garuk tangannya.
Aku
sedikit kaget mendengar kata ‘mandi’.
“Habis
mandi ta dek?”
“Iya
barusan.” Sambil sibuk menggaruk-garuk, “Aku gak cocok airnya Mbak.”
“Lho
iya ta? Soalnya airnya PAM dek, ada kaporitnya.”
Perbincangan
kemudian terhenti tiba-tiba ketika terdengar suara, “Assalamualaikum!”
“Wa’alaikum
salam”, jawabku, Kadita, dan gadis itu.
Sosok
perempuan menaiki tangga tiba-tiba muncul. Suara kakinya terdengar,
“Buk..buk..buk..buk..buk”. Aku sangat mengenali suara langkah kakinya. Siapa
lagi kalau bukan Silvina. Sampainya di lantai atas, Silvina melebarkan
senyumnya dan tercengang melihat gadis yang tidak dikenalnya itu duduk
bersamaku dan Kadita. Kadita langsung menatap Silvina.
“Sil,
iki arek ape ngekos kene”, ucap Kadita, kemudian kembali fokus ke laptopnya.
“Oalah...dulurmu
to di?”
“Uduk!
Tapi podo Banyuwangi”, jawabku.
“Tak
kiro dulurmu Di.”
Setelah
itu Silvina masuk ke kamarnya dengan langkah gontai. Seharian di kampus
membuatnya seperti orang yang sudah tidak berdaya. Aku lihat dia langsung
merebahkan badannya di kasur sambil membuka laptop dan memutar film. Daripada duduk
bersama gadis yang baru aku kenal itu, aku lebih tertarik menghampiri Silvina
yang sedang asik menonton film korea dan ikut merebahkan tubuh di kasurnya. Karena
tidak bisa menahan rasa curiga dan khawatir, semua asal-muasal gadis itu
kuceritakan padanya. Silvina ternyata menyimpan rasa curiga. Ceritaku tiba-tiba
terhenti, gadis itu mendekatiku dan Silvina sambil memeluk boneka yang ada di
kamar Silvina. Kadita juga tiba-tiba masuk kamar.
“Mbak
ini semua agamanya Islam ya?”, tanya gadis itu.
“Iya
dek”, jawabku, Silvina, dan Kadita bersamaan.
“Kalau
saya Budha.”
Kemudian
Kadita dan gadis itu keluar dari kamar Silvina dan duduk kembali di ruang TV. Masih
saja Kadita sibuk dengan laptopnya sambil ngobrol
dengan gadis itu. Kertas-kertas yang semula berceceran kini sudah ditatanya rapi.
Aku tidak begitu mendengar obrolan mereka karena lebih tertarik menonton film
korea daripada memperhatikan gadis itu. Yang kulihat kemudian gadis itu
menuruni tangga sambil membawa tas. Satu tiga menit kemudian aku mengikutinya
dan aku lihat mencegatku di lantai bawah ujung tangga.
“Rik,
arek wedok iku mau neng ndi?”
“Sopo
iku Di? Metu kene mau, mlaku.”
“Iyo
ta Rik? Gak pamitan?!”
“Ndak
Di, ket mau sliwar-sliwer nek ngarep kamarku, terus nakok i aku, ‘Kos di sini ya?’, terus yo tak jawab, ‘Iya’.”
“Iku
mau arek anyar Rik, ape ngekos kene, ngenteni ibuk e, tapi kok moro-moro ilang
gak pamitan aku pisan, padahal mau rene karo aku.”
“Aku
tangi turu mau kaget Di, kok enek arek wedok, sopo iku, sliwar-sliwer pisan.”
Rasa
khawatir bercampur takut, curiga, Su’udzon mulai menajam. Kini sudah tidak lagi
aneh gadis itu, tapi misterius. Aku buka kamar kosong itu, dia tidak meninggalkan
apapun kecuali kertas yang berisi tulisan-tulisan tentang kesehatan. Aku lihat
barang-barang disekeliling kos tidak ada yang berubah dan tidak ada yang
berkurang. Sepedahku yang terparkir di depan kos juga masih ada.
“
Mad!Mad!Mad!.....”, terdengar teriakan Kadita dari lantai atas, “Dompetku
nangdi yo kok gak enek!”.
Aku
langsung lari menaiki tangga menuju lantai atas. Melihat kondisi Kadita yang
sedang bingung mencari dompetnya, pikiranku tidak lepas dari gadis itu. Ya...itu..!
Gadis itu!Gadis itu!. Kertas-kertas yang mulanya tertata rapi aku ocak-acik. Tas
ransel Kadita aku bolak-balik, dompetnya tidak ada.
“Arek
iku mau nengdi mad?!”
“Gak
eruh mad, mau ngomong e tinggal nunggu Mama.”
Semua
penghuni kos kebingungan campur takut. Rika sibuk menata barang-barang yang ada
dikamarnya. Silvina melihat-lihat barang-barang di kamarnya apakah ada yang
berkurang. Sedangkan Kadita terus mencari-cari dompetnya.
“Arek
iku mau mad seng njupok berarti! Tasmu mau nek ngarep e arek iku ta? Dompet e
neng kunu pisan?”
“Iyo
mad! Aku yo gak nangndi-ndi, ket mau ambek arek iku ndelok TV. Tapi aku kok gak
ndelok arek iku njipuk dompetku, gak eruh aku mad.”
Kadita
sekarang terlihat benar benar benar kebingungan. Raut mukanya suram. Dan ternyata
di dompetnya ada material penting seperti ATM , KTP, uang untuk membayar SPP. Berkali-kali
aku, Rika, Silvina membongkar barang-barang di ruang TV, dompet Kadita yang
berwarna coklat itu tidak ditemukan. Siapa lagi? Siapa yang jadi tersangka?
Apakah gadis itu? Aku hanya bisa tercengang dan terdiam duduk di ujung tangga. Kadita
dan Silvina ke luar kos mengejar gadis itu dengan mengendarai sepedahku.
Awal
bertemu gadis itu, aku yang membawanya kemari. Niatku baik membantunya namun
berujung membawa musibah pada temanku. Siapakah yang salah? Apakah aku yang
mudah dibohongi orang atau memang gadis berkedok pencuri itu? Kenapa begitu
bodoh ya? Yang bodoh aku atau gadis itu? Atau kedua-duanya bodoh? Gadis rok
mini, berkacamata hello Kitty, mahasiswi UNMUH tapi beragama Budha, mahasiswi
UNMUH tapi mencari kos di Jl. Mstrib jarak tempuh sekitar 1 KM, sempat mandi di
kos, mau kos dengan kamar sempit tanpa ada rasa penolakan, memperlihatkan KTP
pada bu kos, jauh ke kampus PP tiap hari, dan kata-kata terakhirnya sebelum meninggalkan
kos ini, ‘Tinggal nunggu Mama’.
Astagfirullah,
kini aku baru sadar, semua itu modus belaka berkedok mahasiswi keperawatan
UNMUH. Tinggalah bayang jejak-jejak kaki gadis itu, namanya Ira, asal dari
Banyuwangi. Satu kota, seperadaban, saudaraku, ternyata penipu, pencuri,
pencopet. Kota Banyuwangi, saudaraku, tak rela gadis itu lahir di kota itu. Kotaku
yang penuh kedamaian dan ketenangan ternodai oleh gadis yang membawa musibah ke
tempat aku tinggal bersama teman-temanku, Kota Jember. Tidak bisa dipungkiri,
kadang niat baik belum tentu menghasilkan dampak yang baik. Namun tetap
pikirkan apakah niat baik itu juga baik untuk orang lain di sekitar kita. Utamakan
berniatlah baik untuk banyak orang dibandingkan hanya untuk seseorang. Tapi semua
niat baik itu akan menjadi catatan baik amal kita di akhirat nanti. Malaikat dan
Allah tidak pernah tidur. Segala tindakan pasti diawasi oleh-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar