KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita
panjatkan kehadirat Allah SWT karena kita telah diberi curahan nikmat dan kasih sayang yang berlimpah. Tidak lupa
shalawat serta salam semoga tetap terlimpah dan curahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kita sebagai umatnya.
Alhamdulillah kami telah menyelesaikan laporan hasil observasi di desa
Sumberejo dusun watu ulo yaitu “SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT DI DUSUN WATU ULO” yang merupakan
salah satu tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar. Walaupun terdapat
beberapa halangan di antaranya kawasan observasi yang belum kami kenal dan
cukup jauh serta halangan-halangan lain akan tetapi pada akhirnya kami dapat
menyelesaikan laporan ini.
Kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu memberikan bimbingan dan pengarahan serta dukungan, baik moril
ataupun materil dalam penyusunan laporan ini.
Dalam laporan hasil observasi ini di jelaskan bagaimana kehidupan masyarakat di
dusun watu ulo serta bagaimana keadaan religi di dusun watu ulo. Oleh karena
itu kami harap laporan hasil observasi ini bisa menjadi ilmu, manfaat serta
sebagai cerminan sosial bagaimana kehidupan masyarakat di desa Sumberejo dan di
dusun watu ulo pada khususnya.
Memang dalam pelaksanaan observasi lapangan maupun dalam pembuatan laporan
haisl observasi ini kami rasa belum sempurna. Mungkin masih banyak kesalahan
yang kami perbuat. Oleh karena itu, kami mohon maaf bila terdapat kesalahan
baik dalam penulisan atau dalam bahasa. Semoga karya ini dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya dan digunakan di masa yang akan datang.
Penulis
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta
alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan,
keinginan dsb manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan
lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang
berkesinambungan dalam suatu masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang
relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal
disuatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian
besar kegiatan didalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Dari pengertian
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat sangat erat kaitannya dengan
kebudayaan. Karena kebudayaan sendiri merupakan sebuah hasil interaksi antar
individu dalam suatu kelompok / masyarakat. Salah satu unsur dari budaya itu
sendiri adalah sistem kepercayaan/religi. Menurut Radcliffe-Brown agama adalah
ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran terhadap
ketergantungan kepada suatu kekuatan diluar diri kita yang dapat dinamakan
dengan kekuatan spiritual atau moral.
Kehidupan
beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan
di luar diri kita, kekuatan gaib, luar biasa atau supra natural yang
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Kehidupan beragama sangatlah
bertolak dengan aspek ilmiah atau bisa disebut tidak rasional dalam pandangan
individu atau masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa
sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik
dan ilmiah. Namun demikian, kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia
yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya.
Ketergantungan masyarakat dan individu kepada kekuatan gaib ditemukan dari
zaman purba sampai pada zaman modern ini. Kepercayaan itu diyakini kebenarannya
sehingga menjadi sebuah kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius.
Mempercayai
sesuatu sebagai sesuatu yang suci dan sakral juga merupakan ciri khas kehidupan
beragama. Adanya aturan terhadap individu dalam kehidupan bermasyarakat,
berhubungan dengan alam lingkungannya, atau daam berhubungan dengan Tuhan.
Adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri
dari kehidupan beragama.
El – Ehwani
dan Norbeck memandang kehidupan beragama sebagai subsistem atau bagian dari
kehidupan manusia secara keseluruhan yang hanya berhubungan dengan yang gaib
sebagaimana yang umum dipahami saat ini. Walau bagaimanapun keduanya mengakui
universalnya kehidupan beragama dikalangan masyarakat manusia, baik
beragama sebagai sistem atau subsistem dari kehidupan. Keduanya juga
sebagaimana umumnya manusia dewasa ini, tidak memahami dari segi esensi atau
hakikat kepercayaan kepada yang gaib dan yang sakral. Disamping universal,
kehidupan beragama di zaman modern ini sudah demikian kompleks. Banyak macam
agama yang dianut manusia dewasa ini. Aliran kepercyaan, aliran kebatinan,
aliran pemujaan atau yang dikenal dalam ilmu sosial dengan istilah occultisme
juga banyak ditemukan dikalangan masyarakat modern. Hampir setiap agama
terpecah menjadi beberapa madzhab, aliran atau sekte yang lebih banyak lagi
dari agama yang biasa dikenal. Kemudian cara menerima dan menghayatinya juga
bermacam-macam. Kehidupan beragama saat ini ada yang yang dijadikan sebagai
tempat penyejuk jiwa dan pelarian dari hiruk pikuk ekonomi dan sosial politik
kehidupan masyarakat sehari-hari. Ada pula yang dijadikan sumber motivasi untuk
mencapai kehidupan ekonomi dan sosial politik. Bahkan ada juga yang dijadikan
alasan untuk melancarkan radikalisme, seperti pemberontakan dan terorisme.
Tidak hanya
itu, kehidupan beragama sangatlah mempunyai pengaruh yang luas dalam
pembentukan prilaku dan karakter sesorang atau masyarakat, berperan dalam
pembentukan norma-norma, moral dan hukum. Adanya sila pertama dalam “Panca
Sila” yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” juga merupakan suatu wujud betapa
pentingnya kehidupan beragama bagi suatu bangsa. Oleh karena itu kehidupan
beragama sangatlah kompleks, mengejutkan dan penuh dengan berbagai misteri, sehingga
sangat menarik dan penting untuk dipahami dan dimengerti secara ilmiah.
Oleh karena
itu, kehidupan beragama sangatlah penting untuk kita telusuri dan kita pahami
di berbagai tempat termasuk di Dusun Watu Ulo yang mempunyai berbagai macam
budaya yang saling berhubungan dan berketerikatan satu sama lain. Dusun
Watu Ulo sendiri merupakan suatu wilayah yang mempunyai suatu budaya yang unik
dan menarik, salah satunya adalah budaya “Petik Laut” yang begitu kental dengan
tradisi-tradisi budaya jawa dan sering kali nampak adanya suatu ke-tidak
cocokan dengan agama yang mereka peluk yaitu agama Islam sebagai agama
mayoritas wilayah tersebut. Ketidak sesuaian hal tersebut nantinya akan kami
bahas dalam hasil observasi yang bersumber pada beberapa tokoh masyarakat yang
telah kami jadikan sebagai Informan dalam penelitian kami.
Selain itu
masih banyak lagi hal yang menarik dari system kepercayaan Dusun Watu Ulo yang
akan kami bahas di bagian selanjutnya. Seperti kepercayaan-kepercayaan penduduk kepada mahluk gaib
penunggu laut dan sawah serta kepercayaan-kepercayaan yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam laporan observasi ini
adalah sebagai berikut:
1.
Agama apa saja yang dianut oleh
masyarakat Dusun Watu Ulo?
2.
Bila ada beberapa agama, adakah
perbedaan kepercayaan yang mengakibatkan perpecahan antar warga?
3.
Bagaimanakah pengaruh agama yang
mereka anut bagi segala aspek kehidupan warga Dusun Watu Ulo?
4.
Bagaimanakah konteks kehidupan
beragama diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat baik dalam beribadah
maupun dalam kehidupan sosial lainnya?
5.
Bagaimana pandangan masyarakat
terhadap adanya kisah legenda Nyai Roro Kidul?
6.
Makna selametan, petil laut dan
kepercayaan- kepercayaan lain yang ada di Dusun Watu Ulo?
1.3 Maksud dan Tujuan
Dalam
melakukan observasi ini kami memiliki keinginan tahuan yang begitu besar terhadap kebudayaan – kebudayaan yang ada di
masyarakat Watu Ulo. Sehingga dalam laporan observasi kami ini memiliki maksud
dan tujuan antara lain:
1.
Untuk mengetahui kondisi sosial
budaya, terutama kehidupan keagamaan di Dusun Watu Ulo
2.
Untuk
mengerti dan memahami masalah sosial terutama di bidang keagamaan di Watu Ulo.
3.
Untuk bersosialisasi dan lebih
mengenal kehidupan keagamaan di Dusun Watu Ulo.
1.4 Tinjauan Pustaka
Ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dia memiliki
kebudayaan atas 7 unsur : sistem religi (kepercayaan), sistem organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem
teknologi dan peralatan bahasa dan kesenian. Kesemua unsur budaya tersebut
terwujud dalam bentuk sistem budaya/ adat istiadat (kompleks budaya, tema
budaya, gagasan), sistem sosial (aktivitas sosial, kompleks sosial, pola
sosial, tindakan), dan unsur-unsur kebudayaan fisik (benda kebudayaan).
Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai,
pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan. Definisi
kepercayaan mengacu kepada pendapat Fishbein dan Azjen (Soekanto, 2007), yang
menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”, yang
memiliki pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek
kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi
terhadap sesuatu objek. Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman
pribadi maupun pengalaman sosial.
Ritual adalah tehnik (cara metode) membuat
suatu adat kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat,
sosial, dan agama, ritual bersifat pribadi atau kelompok. Wujudnya bisa berupa
doa, tarian, drama, dll. Ritual itu dasarnya sering bersifat sosial kemudian
menjadi ekonomis lalu berkembang menjadi tata cara suci agama.
Dalam masyarakat tradisional praktek-praktek
ritual sering dilakukan. Dalam prakteknya ritual merupakan ungkapan yang lebih
bersifat logis daripada bersifat psikologi. Ritual memperlihatkan tatanan atas
simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan prilaku dan
perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya
masing-masing. Pengobjekan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam
kelompok kebersamaan. Ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan
gejala yang mempunyai ciri-ciri mistis.
Ritual dalam sebuah agama mempunyai maksud dan
tujuan tertentu sesuai dengan apa yang diajarkan dalam agama tersebut. Bentuk
ritual juga berbeda-beda. Sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Menurut Victor Turner, ritual mempunyai
beberapa peranan antara lain :
1. Ritual dapat menghilangkan konflik
2. Ritual dapat mengatasi perpecahan dan
membangun solidaritas masyarakat
3. Ritual mempersatukan sua prinsip yang
bertentangan
4. Dengan ritual orang mendapat kekuatan dan
motivasi baru untuk hidup dalam masyarakat sehari-hari.
Penyelenggaraan
ritual mempunyai maksud dan tujuan. Secara umum ritual merupakan permohonan
terhadap roh leluhur dan rasa syukur terhadap Tuhan serta sebaggai sarana
sosialisasi dan pengukuhan nilai-nilai budaya yang sudah ada dan berlaku dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Ritual
dalam agama-agama juga merupakan bagian dari ekspresi diri umat agama dalam
berkomunikasi dengan Tuhan dan juga ekspresi tentang bagaimana doktrin agama
memandang relasi antara manusia dengan makrokosmos.
Petik Laut
adalah sebuah bentuk ritual yang didasari dari kearifan lokal masyarakat.
Hampir setiap kawasan berpesisir di Indonesia memiliki ritual Petik Laut dengan
nama yang berbeda-beda. Tujuan Petik Laut dilakukan adalah sebagai bentuk rasa
syukur dari masyarakat Nelayan atas berkah ikan yang didapat selama setahun
kemarin. Setahun ini bukan menggunakan tahunan dalam kalender Masehi melainkan
kalender Jawa. Maka Petik Laut selalu dilaksanakan di Bulan Suro dalam Kalender
Jawa. Petik Laut itu juga merupakan pengharapan dari Masyarakat Nelayan
agar ditahun depan mereka mendapatkan Ikan yang jauh lebih banyak lagi dari
tahun kemarin.
Petik laut
di dusun Watu Ulo sejak tahun terakhir, telah dilaksanakan pada tanggal 7
Desember 2012 yang didatangi oleh DPR RI fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.
Salah seorang panitia pelaksana petik laut mengatakan bahwa tradisi petik laut
ini merupakan tradisi nenek moyang yang terus dilestarikan oleh masyarakat
setempat.
Menurut Dr Nur syam dalam bukunya
yang berjudul Islam Pesisir, beliau mengemukakan : Islam jawa berkembang
melalui pesisir dan terus berkelanjutan ke wilayah pedalaman.kontak kebudayaan
antara para pendatang yang sering singgah di wilayah psisir pada masa-masa awaa
islam di Jawa mentebabkan adanya proses tarik menarik antarabudaya lokal dengan
budaya luar yang tak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat.
Kemudian yang terjadi ialah sinkretisme dan atau akulturasi udaya, seperti:
praktik meyakini iman di dalam ajaran islam akan tetapi masih mempercayai
keyakinan lokal. Selain itu beliau juga mengemukakan : Ajaran islam yang
termuat di dalam Teks AlQuran dan Al Hadith adalah ajaran yang merupakan sumber
asasi, dan ketika sumber itu di gunakan atau di amalakan di suatu wilayah
sebagai pedoman kehidupan maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja
mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Karena penafsiran itu bersentuhan
dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkanya juga sesuatu yang sakral.
Clifford Geertz dalam bukunya yang
berjudul the Religion Of Java mengemukakan : Slametan adalah versi Jawa dari
apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia; ia
melambangkan kesatuan mistis dan social mereka yang ikut serta di dalamnya.
Selain itu Geertz juga mengidentifikasikan
jenis-jenis slametan dalam empat jenis :
a.
Yang
berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan-kelahiran, khitanan, perkawinan, dan
kematian.
b.
Yang
ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam, maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha
dan sebagainya.
c.
Yang
ada kaitannya dengan integrasi social desa, bersih desa.
d.
Slametan
“sela” yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung
kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang, keberangkatan untuk suatu
perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan
sebagainya.
Dalam buku “Agama dalam kehidupan
manusia” karangan Bustanuddin Agus diterangkan bahwa karena memercayai yang
gaib, memercayai wahyu, memercayai surga dan neraka, sekalipun semuanya itu
bukan dari manusia, adalah manusia dan masyarakat, pada umumnya para antropolog
menempatkan agama (religi) sebagai salah satu dari aspek-aspek kebudayaan
(cultural universals, unsure-unsur kebudayaan yang ditemukan secara universal,
di mana dan kapan pun) karena dia merupakan norma dan prinsip-prinsip yang ada
dalam keyakinan, pemahaman, dan rasa masyarakat yang bersangkutan dalam
berhubungan dengan yang gaib.
Islam Jawa sebagai agama rakyat dipandang
sebagai penyimpangan dari agama islam. Sebaliknya, Mark R. Woodward dalam
bukunya “Islam Jawa” menunjukkan bahwa islam dan jawa compatible. Jika
pun ada pertentangan-pertentangan yang terjadi antara keduanya, adalah suatu
yang bersifat permukaan dan wajar dalam bentangan sejarah islam. Pertentangan
ini bisa dirujuk sebagai persoalan klasik islam, yaitu bagaimana menyeimbangkan
antara dimensi hukum dan dimensi mistik, antara ‘wadah’ dan ‘isi’, antara
‘lahir dan ‘batin’. Dengan demikian, Islam jawa di sini “dibaca” sebagai varian
yang wajar dalam islam dan berhak hadir.
Secara umum kaum Sufi bersedia
menerima unsur-unsur tradisi Hindu dan Budha yang di dalam istilah mereka
bersifat zahir (eksternal), tetapi menolak unsur-unsur yang hanya bisa
diinterpresentasikan sebagai batin (internal). Demikian juga mereka tidak
menerima doktrin-doktrin kosmologis, sebagai lawan mitologis. Kaum Sufi
memelihara setidaknya pada tingkat eksoterik, gagasasn ketuhanan traspenden.
1.5 Cara Observasi
1.
Diskusi
kelompok dan pencarian referensi sebelum ke lapangan.
Hal ini di maksudkan agar saat di
lapangan proses penggalian informasi dapat terlaksana dengan baik dan tidak ada
hambatan dalam proses observasi karena sudah ada rencana yang matang apa yang
harus di kerjakan saat sudah ada di lapangan.
2.
Persiapan
ke lapangan.
Mempesiapkan apa saja hal yang di
butuhkan saat di lapangan dan merencanakan apa saja kegiatan selama di lapangan.
3.
Pengambilan
data.
Dengan cara wawancara dengan nara sumber serta
pengamatan-pengamatan langsung di lapangan bagaimana keadaan sosial serta
keagamaan di lapangan.
4.
Menganalisis
dan menyusun data.
Hal ini di lakukan agar data bisa
lebih mudah di pahami dan agar lebih jelas penyampaianya.
5.
Pemasukan data ke dalam laporan
hasil observasi.
6. Penyempurnaan pengambilan data
dengan memasukanya ke dalam laporan hasil observasi
1.6 Lokasi Observasi
Observasi
ini di lakukan di daerah pesisir selatan kabupaten Jember, tepatnya di dusun
Watu ulo, desa Sumberejo, kecamatan Ambulu, kabupaten Jember. Lokasi ini
dipilih dengan alasan sebagai berikut :
1. Lokasi ini merupakan daerah kawasan
wisata, karena itu pasti ada dampak pada daerah ini mengenai kebudayaan atau
ritual yang di pertontonkan atau di jadikan daya tarik pengunjung.
2. Adanya organisasi keagamaan yang
membuat lokasi ini patut untuk di jadikan tempat observasi.
3. Adanya ritual-ritual dan adanya
makam keramat yang banyak di datangi wisatawan, hal ini merupakan pokok bahasan
yang menarik dari sisi keagamaan.
1.7 Sistematika Laporan Observasi
A.
Halaman Judul , adalah nama yang
diberikan untuk laporan observasi.
1. Ucapan terima kasih
2. Kendala saat proses pembuatan
laporan
3. Harapan-harapan penulis dalam
penyusun laporan
C.
Daftar isi
Merupakan penyajian dari sistematika
isi laporan, dibuat untuk mempermudah para pembaca mencari judul atau sub judul
dari isi laporan yang dibacanya.
D. Pendahuluan, mengemukakan:
1. Latar belakang : merupakan
alasan-alasan mengapa memilih judul observasi dan menjadi pembuka materi dalam
laporan observasi.
2. Rumusan masalah : merumuskan
masalah dari pembuatan laporan, dalam hal ini adalah perumusan masalah salah
satu dari tujuh unsur kebudayaan yaitu agama.
3. Maksud dan tujuan : mengemukakan
maksud dan tujuan kelompok melakukan kegiatan observasi.
4. Tinjauan pustaka : menjelaskan
dan menunjukan studi-studi yang sudah di lakukan oleh peneliti terdahulu.
5. Cara observasi : menjelaskan
secaeamendalam bagaimana cara melakukan observasi atau pengamatan mulai
daritahap persiapan sampai pada saat penyusunan laporan.
6. Lokasi observasi : Mendiskripsikan secara singkat
wilayah/daerah yang dijadikan tempat atau lokasi observasi.
7. Sistematika hasil laporan : Uraian
singkat mengenai struktur laporan kelompok mulai bab pertama sampai terkhir.
E. Gambaran umum lokasi observasi
Menjelaskan tentang gambaran umum lokasi observasi yang menyangkut
kondisi lingkungan sosial dan budaya masayarakat, kondisi ekonomi, dan struktur
sosial/agama.
F. Pembahasan
Menjelaskan berbagai hal atau
peristiwa keagamaan yang patut di bahas serta pendiskripsian bagaimana laporan
itu di buat serta pendiskripsian kegiatan lapangan secara detail.
G. Kesimpulan
Menjelaskan dan meringkas dari isi
pembahasan serta jawaban dari masalah yang di rumuskan di dalam observasi.
H. Daftar pustaka
Mengemukakan sumber-sumber yang di
jadikan referensi dalam penulisan laporan.
J. Lampiran, mengemukakan:
1. Gambar kegiatan lapangan.
2. Pedoman wawancara.
3.
Transkip hasil wawancara.
BAB 2. GAMBARAN UMUM
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1
Kondisi umum sistem kepercayaan masyarakat pesisir
Islam
merupakan agama yang dianut oleh hampir seluruh masyarakat pesisir Dusun watu
ulo. Masyarakat disana mayoritas adalah orang Madura asli. Menurut referensi,
orang madura dikatakan sebagai muslim yang taat dan cukup fanatik. Agama Islam berkembang
di Madura yang dibawa dari pulau Jawa. Tapi walaupun masyarakat Madura telah mengenal agama Islam sejak lama,
beberapa tradisi ritual lama masih tetap dijalankan seperti tradisi ritual
Pethik Laut
Masyarakat
Madura yang dikatakan sebagai muslim yang taat tersebut, bisa dibuktikan dengan
adanya kegiatan-kegiatan Islam di dusun watu ulo yang cukup aktif dan rutin
dilakukan setiap minggu nya. Seperti yasinan, tahlilan dan ada pula kelompok
khusus Sholawat. Bukan hanya para orang tua yang meramaikan dan mengurusi
masjid tersebut, tapi juga ada beberapa anak muda yang tergabung dalam REMAS
(Remaja Masjid). Kegiatan yang dilakukan
oleh remaja masjid tersebut yaitu pengajian rutin dan penggalangan dana untuk
masjid. Hubungan antar masyarakatnya juga sangat baik, baik pada sesama
penduduk asli watu ulo ataupun juga warga pendatang yang beragama islam atau
pun non islam. Masyarakat suka saling berbagi saat ada acara hajatan dan juga
saling bergotong royong.
Selain
itu, di daerah watu ulo juga banyak terbangun pondok pesantren. Banyak juga
memiliki prestasi yang cukup membanggakan yaitu juara Qiro’at 1 dan 2
se-Jember. Para remaja di dusun Watu Ulo
yang juga masuk pondok pesantren untuk belajar agama. Dan ada pula yang
mengikuti pondok pesantren di luar daerah. Pondok pesantren di daerah tersebut.
Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Dusun Watu Ulo memiliki ajaran agama
Islam yang cukup baik.
Namun
menurut bapak Suto Wijoyo, salah seorang pengurus masjid besar Nurul Huda,
perkembangan agama Islam di daerah tersebut tidak lebih baik dari zaman beliau
saat kecil. Karena adanya pengaruh globalisasi yang menyebabkan masyarakat
terutama para remajanya lebih mengikuti gaya hidup yang modern. Contohnya saja
remaja putri yang berpakaian tidak sesuai dengan syariat agama setelah mereka
keluar dari pondok pesantren, namun memang tidak semuanya seperti itu. Kemudian
beliau juga mengatakan bahwa di zaman ini juga terdapat perkembangan agama yang
sudah cukup baik dari segi kepercayaan masyarakat pada sesajen. Pada zaman dulu, masyarakat nya banyak
membuat sesajen hampir di seluruh sudut pedesaan. Sesajen ini dilakukan untuk
keselamatan desa. Namun ada pula ritual kepercayaan yang masih belum bisa
dihilangkan hingga saat ini yaitu ritual petik laut. Seiring berjalannya waktu
dan karena adanya peran para kyai akhirnya ritual sesajen tersebut bisa
dihilangkan. Usaha yang dilakukan oleh para kyai tersebut yaitu dengan mengajak
tokoh-tokoh masyarakat seperti kepala dusun, ketua kelompok nelayan dan tokoh
lainnya untuk ikut pengajian. Dari situlah, lambat laun ritual sesajen dapat
dikurangi. Dan cara ini masih terus diusahakan hingga sekarang.
3.2
Ritual Petik Laut dan kepercayaan yang terkandung didalamnya
Tradisi dan
budaya yang berkembang di Watu Ulo tidak dapat terlepas dari kondisi alam yang
didominasi lautan luas Samudera Indonesia. Tradisi dan budaya nelayan menjadi
dominan dalam masyarakat Watu Ulo.
Petik Laut
atau ada yang menyebut dengan Larung Sesaji, salah satu tradisi tahunan yang
ada di Watu Ulo, merupakan bentuk pengaruh kondisi alam yang didominasi oleh
Lautan. Petik Laut dapat dilihat sebagai interaksi kehidupan manusia dengan
alam semesta yang menyediakan berbagai sumber kehidupan baik itu ikan-ikannya
maupun sumber daya alam lainnya.
Petik
Laut merupakan tradisi syukur atas hasil laut yang didapatkan oleh masyarakat
Watu Ulo. Tujuan dari diadakannya petik laut ini yaitu untuk merayakan
keberhasilan penangkapan ikan oleh para Nelayan dan juga untuk melancarkan
penangkapan ikan selanjutnya oleh para nelayan. Mereka percaya bahwa hasil laut
yang mereka dapatkan tak terlepas dari bantuan penghuni gaib yang ada di laut.
Sehingga masyarakat memberikan sesajen sebagai timbal balik atas rejeki hasil
laut yang dilimpahkan pada mereka. Selain itu, adanya acara petik laut ini juga
dimaksudkan untuk keselamatan warga Watu Ulo dan pengunjung pantai. Ombak di pantai watu ulo terkenal sangat
besar-besar. Sehingga tak jarang perahu nelayan terhempas ombak hingga karam.
Sehingga cukup berbahaya dilewati perahu nelayan, karena di tempat sering
terjadi perahu karam akibat diterpa ombak besar. Atau juga banyak terdapat
pengunjung yang diseret ombak hilang dan tidak ditemukan kembali.
Ritual
petik laut dilaksanakan 1 tahun sekali, yaitu saat bulan Syuro’. Acara nya
dimulai dengan acara pengajian atau selametan sehari sebelum acara petik laut
tersebut diadakan. Kemudian pada malam hari dilakukan pembacaan pakem oleh 3
orang tetua desa di sana semalam suntuk. Baru kemudian keesokan harinya
masyarakat menanggap wayang yang isinya berkisah tentang laut dan bersinggungan
pula dengan nyi Roro Kidul. Hingga kemudian
iringan drum band dan tari remong datang bersamaan dengan undangan yang
hadir seperti pak camat dan kapolres setempat. Setelah itu, acara petik laut
dilakukan yaitu dengan pelepasan kapal berisi sesajen-sesajen ke laut lepas
tepat jam 3 dini hari diikuti oleh seorang warga untuk menjaga kapal tidak
jatuh, karena sesajen yang sangat banyak. Setelah itu, pagelaran wayang di
mainkan kembali.
Sesajen
yang diberikan yaitu berisi kepala kambing, kepala sapi, ayam, buah-buahan,
tebu dan masih banyak lagi. Sesajen yang disediakan harus pas dan ada pula yang
memiliki simbol tertentu contohnya kepala kambing, kepala sapi dan daging
lainnya yang memiliki simbol pengharapan masyarakat agar tidak ada korban yang
berjatuhan. Selain kepala kambing, sapi dan ayam juga disediakan buah-buahan
yang berjumlah 1000 buah. Dan sesajen tersebut diangkut penuh di satu kapal.
Menurut pak Samsuri lagi, sesajen yag di berikan tidak boleh kurang, karena apabila
makhluk gaib yang di beri sesajen kekurangan, maka banyak masyarakat yang
kerasukan dan meminta sesajen untuk
ditambah. Hal ini dikarenakan makhluk gaib yang berada di lautan meminta timbal
balik kepada warga masyarakat terutama nelayan atas hasil laut yang telah
masyarakat ambil dari lautan. Uang untuk mengadakan serangkaian acara ritual
petik laut tersebut berasal dari iuran para nelayan.
Dibalik
ritual petik laut ternyata terdapat suatu kepercayaan mistis yag tumbuh dan
mengakar kuat di tengah masyarakatnya. Yaitu adanya pengaruh dari Nyi Roro
Kidul yang terkenal sebagai penguasa lautan pantai Selatan. Menurut bapak Samsuru, ketua kelompok Nelayan
di Watu Ulo, apabila tidak dilaksanakan petik laut, maka Nyi Ratu panggilaan
masyarakat pada Nyi Roro Kidul, akan murka. Ditandai dengan timbulnya ombak
yang besar dan kemudian banyak warga yang kerasukan makhluk halus hingga
beberapa hari.dan hal tersebut pernah terjadi beberapa tahun yang lalu saat
ritual petik laut pernah tidak dilakukan oleh masyarakat.
Bahkan
menurut pak Samsuri, banyak wisatawan lokal yang jauh-jauh mengunjungi pantai
Payangan hanya untuk bisa bertemu Nyi Roro Kidul.. Atau ada juga yang
menyalahgunakan untuk mencari nomer togel. “Dibelakang bukit itu dalah taman
istana Nyi Roro Kidul, setiap orang yang benar-benar suci dan melakukan
pertapaan bisa menemui Nyi Ratu” ujar
pak Samsuri lagi. Dan menurut pengakuan dari pak Samsuri ketika ditemui
kemarin, beliau pernah ditemui dalam mimpi oleh Nyi Ratu penguasa laut
tersebut. Menurut beliau, Nyi Roro Kidul sangat cantik dan baik hati, sedangkan
yang garang dan jahat adalah para punggawa istana Nyi Ratu.
Selain
pak Samsuri, seorang pedagang makanan di pinggir pantai bernama Bu nurhayati
juga memberi tanggapan yang sama mengenai adanya hubungan antara ritual petik
laut dan Nyi Roro Kidul. Beliau juga memiliki cerita yang menurutnya sudah
meluas di masyarakat.
Ceritanya nya,
dulu pernah ada seorang tukang bakso yang tengah duduk dipinggir jalan. Saat
itu keadaan tengah sepi, lalu dari jauh terlihat kereta kencana yang bagus dan
ditumpangi oleh seorang wanita cantik yang menyerupai manusia biasa. Beliau
berhenti untuk memakan bakso dan disitu, wanita cantik tersebut bercerita dan
berpesan kepada tukang bakso untuk memberitahukan warga bahwa harus segera
dilakukan ritual petik laut. Masyarakat tidak boleh serakah, karena penghuni
lautan sudah memberikan limpahan rejeki kepada masyarakat. Maka hendaknya
masyarakat melakukan timbal balik dengan memberikan sesaji kepada makhluk gaib
disana. Bu Nurhayati juga mengatakan hal yang sama dengan pak Samsuri, yaitu
apabila petik laut tidak dilakukan oleh warga masyarakat atau pun ada sesajen
yang kurang, maka banyak warga masyarakat yang kerasukan makhluk halus beberapa
hari.
Berdasarkan hasil observasi tersebut, dapat dikatakan
bahwa masyarakat Watu Ulo masih menganut sistem kepercayaan dinamisme disamping
agama Islam yang merka anut saat ini. Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala
sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau
kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Mereka percaya terhadap
kekuatan gaib dan kekuatan itu dapat menolong mereka. Kekuatan gaib itu
terdapat di dalam benda-benda seperti keris, patung, gunung, pohon besar, dan
lain-lain. Untuk mendapatkan pertolongan kekuatan gaib tersebut, mereka
melakukan upacara pemberian sesaji, atau ritual lainnya. Dan kepercayaan
terhadap kekuatan Nyi Roro Kidul yang memepengaruhi hasil tangkap para nelayan
ini, termasuk salah satunya.
3.3
Kisah Ratu Kidul Dalam Mitos Jawa
Nyi Roro Kidul adalah seorang ratu yang cantik bagai
bidadari, kecantikannya tak pernah pudar di sepanjang zaman. Di dasar Laut
Selatan, yakni lautan yang dulu disebut Samudra Hindia – sebelah selatan pulau
Jawa, ia bertahta pada sebuah kerajaan makhluk halus yang sangat besar dan
indah. Menurut referensi, pada mulanya Ratu Kidul adalah seorang wanita, yang
berparas elok, ia bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia sering disebut Dewi
Srengenge, yang artinya Matahari Jelita. Kadita adalah putri Raja Munding
Wangi. Walaupun Kadita sangat elok wajahnya, Raja tetap berduka karena tidak
mempunyai putra mahkota yang dapat disiapkan. Baru setelah Raja memperistrikan
Dewi Mutiara lahir seorang anak lelaki. Akan tetapi, begitu mendapatkan perhatian
lebih, Dewi Mutiara mulai mengajukan tuntutan-tuntutan, antara lain, memastikan
anaknya lelaki akan menggantikan tahta dan Dewi Kadita harus diusir dari
istana. Permintaan pertama diluluskan, tetapi untuk mengusir Kadita, Raja
Munding Wangi tidak bersedia.
“Ini keterlaluan,”
sabdanya.
“Aku tidak bersedia
meluluskan permintaanmu yang keji itu,” sambungnya. Mendengar jawaban demikian,
Dewi Mutiara malahan tersenyum sangat manis, sehingga kemarahan Raja,
perlahan-lahan hilang. Tetapi, dalam hati istri kedua itu dendam membara.
Keesokan harinya, Mutiara pengutus inang mengasuh memanggil seorang tukang sihir, namanya Jahil. Kepadanya diperintahkan, agar kepada Dewi Kadita dikirimkan guna-guna.
“Bikin tubuhnya berkudis dan berkurap,” perintahnya. “Kalau berhasil, besar hadiah untuk kamu!” sambungnya. Jahil menyanggupinya. Malam harinya, tatkala Kadita sedang lelap, masuklah angin semilir ke dalam kamarnya. Angin itu berbau busuk, mirip bau bangkai. Tatkala Kadita terbangun, ia menjerit. Seluruh tubuhnya penuh dengan kudis, bernanah dan sangat berbau tidak enak.
Keesokan harinya, Mutiara pengutus inang mengasuh memanggil seorang tukang sihir, namanya Jahil. Kepadanya diperintahkan, agar kepada Dewi Kadita dikirimkan guna-guna.
“Bikin tubuhnya berkudis dan berkurap,” perintahnya. “Kalau berhasil, besar hadiah untuk kamu!” sambungnya. Jahil menyanggupinya. Malam harinya, tatkala Kadita sedang lelap, masuklah angin semilir ke dalam kamarnya. Angin itu berbau busuk, mirip bau bangkai. Tatkala Kadita terbangun, ia menjerit. Seluruh tubuhnya penuh dengan kudis, bernanah dan sangat berbau tidak enak.
Tatkala Raja Munding
Wangi mendengar berita ini pada pagi harinya, sangat sedihlah hatinya. Dalam
hati tahu bahwa yang diderita Kadita bukan penyakit biasa, tetapi guna-guna.
Raja juga sudah menduga, sangat mungkin Mutiara yang merencanakannya. Hanya
saja. Bagaimana membuktikannya. Dalam keadaan pening, Raja harus segera
memutuskan.
Apa yang akan dilakukan terhadap Kadita. Atas desakan patih, putri yang semula sangat cantik itu mesti dibuang jauh agar tidak menjadikan aib.
Apa yang akan dilakukan terhadap Kadita. Atas desakan patih, putri yang semula sangat cantik itu mesti dibuang jauh agar tidak menjadikan aib.
Maka berangkatlah
Kadita seorang diri, bagaikan pengemis yang diusir dari rumah orang kaya.
Hatinya remuk redam; air matanya berlinangan. Namun ia tetap percaya, bahwa
Sang Maha Pencipta tidak akan membiarkan mahluk ciptaanNya dianiaya sesamanya.
Campur tanganNya pasti akan tiba. Untuk itu, seperti sudah diajarkan neneknya
almarhum, bahwa ia tidak boleh mendendam dan membenci orang yang membencinya.
Siang dan malam ia
berjalan, dan sudah tujuh hari tujuh malam waktu ditempuhnya, hingga akhirnya
ia tiba di pantai Laut Selatan. Kemudian berdiri memandang luasnya lautan, ia
bagaikan mendengar suara memanggil agar ia menceburkan diri ke dalam laut.
Tatkala ia mengikuti panggilan itu, begitu tersentuh air, tubuhnya pulih
kembali. Jadilah ia wanita cantik seperti sediakala. Tak hanya itu, ia segera
menguasai seluruh lautan dan isinya dan mendirikan kerajaan yang megah, kokoh,
indah dan berwibawa. Dialah kini yang disebut Ratu Laut Selatan.
Menurut cerita yang
beredar Nyi Roro Kidul itu tak lain adalah seorang jin yang mempunyai kekuatan
dahsyat. Hingga kini masih ada saja orang yang mencari kekayaan dengan jalan
pintas yaitu dengan menyembah Nyi Roro Kidul. Mereka dapat kekayaan berlimpah
tetapi harus mengorbankan keluarga dan bahkan akan mati sebelum waktunya, jiwa
raga mereka akan dijadikan budak bagi kejayaan Keraton Laut Selatan.
3.4
Mitos Ratu Kidul Dilihat Dalam Berbagai Perspektif
a. Dalam
perspektif Filsafat
Ilmu
filsafat menerangkan bahwa kehidupan manusia di bumi ini memiliki dua unsur
kehidupan yang saling bertolak belakang namun saling melengkapi,keduanya itu
adalah kehidupan lahiriyah dan rohaniyah. Misalnya, apabila kita memiliki
pikiran yang baik dan pikiran baik itu menguassai jiwa kita maka akan tercermin
dalam kehidupan sehari-hari, dan sebaliknya.
Kisah Ratu
Kidul ini dalam bahasan filsafat memberi wawasan tentang taktik dan siasat yang
digunakan Mataram untuk mengantisipasi perang yang dilancarkan Pajang terhadap
Mataram. Dari sisi filsafat cerita Ratu Kidul melukiskan adanya hubungan antara
bahasa sehari-hari dan pengertian ilmiah melalui lambang-lambang filosofis,
seperti ungkapan yang mempersonifikasikan Ratu Kidul seakan-akan suatu sosok
pribadi. Kata ratu dalam bahasa umum memberi pengertian ‘wanita sebagai
pemegang tampuk pimpinan pemerintahan’, sedang bila yang memegang kekuasaan
seorang pria disebut raja. Di dalam bahasa filsafat, ‘wanita’ merupakan lambang
pesona atau daya tarik.
Dengan
demikian Ratu Kidul melambangkan kesadaran insani bahwa “yang duniawi itu” pada
hakikatnya mempunyai pesona atau daya tarik yang luar biasa kuat, yang mampu
menggoda serta menguasai hati, jiwa, dan kesadaran seseorang, bahkan sanggup
meruntuhkan iman seseorang.
b. Dalam
Perspektif Kawruh
Sejak zaman
purbakala bangsa Indonesia telah mengenal dan Tuhan Yang Mahaesa yang
dilambangkan dengan “lingga” dan “yoni”. Gambar lingga dan yono leluhur
nusantara dapat ditemukan di dinding-dinding gua purba, gambar kelamin lelaki
untuk lingga dan gambar kelamin perempuan untuk yoni. Dalam hal ini antara
kawruh dan filsafat memiliki kesamaan. Namun juga memiliki perbedaaan dalam
sudut pandang atau nilai ukurnya. Dalam perspektif ini Ratu Kidul melambangkan
Ibu Pertiwi atau ilmu pengetahuan hidup yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dalam bentuk keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
c. Dalam
Perspektif Budaya
Budaya
merupakan nilai dasar yang dipakai dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Budaya yang memiliki nilai tinggi
adalah budaya yang berorientasi pada sember nilai ilahi ketuhanan, sedangkan
budaya yang memiliki nilai rendah adalah budaya berorientasi pada sumber nilai
lahiriyah dan bersumber pada filsafat manusia.
Mitos Ratu
Kidul dalam Budaya memberi pelajaran dan pengertian bahwa maju mundurnya
kehidupan tergantung dari kualitas manusianya. Adapun kualitas manusia
terbentuk dari nilai yang digunakan sebagai acuan dan ukuran hidupnya. Apabila
yang digunakan nilai rendah maka orang tersebut akan memiliki watak dan tabiat
yang rendah, memiliki kualitas hidup rendah, tercermin melalui cara berfikir
rendah, cara berbicara rendah, dan perilaku rendah. Sebaliknya apabila yang
digunakan nilai luhur tinggi maka orang tersebut akan memiliki watak yang luhur
atau sering disebut “berbudi luhur”, memiliki kualitas hidup yang luhur, yang
tercermin dalam cara berfikir, berbicara, bersikap, dan perilaku.
BAB 4. PENUTUP
4.1
Kesimpulan
1.
Masyarakat
di dusun Watu ulo mayoritas muslim.
2.
Banyak
acara keagamaan yang masih di lakukan seperti pengajan rutin dan tahlilan dan
selametan.
3.
Masyrakat
di dusun Watu ulo merupakan penganut ajaran agama yang taat akan tetapi masih
mempercayai ritual.
4.
Masih
adanya warga yang mempercayai adanya reinkarnasi pada leluhur mereka.
5.
Masyarakat
tidak terlalu meributkan tentang masalah beda keagamaan.
6.
Masyarakat
cenderung bersosialisasi dengan baik walau beda paham.
7.
Warga
tidak terlalu meributkan tentang masalah beda organisasi keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Baal, J., Van. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Terj. Piry,
Jakarta : PT. Gramedia.
Cassier, Ernest. 1990. Manusia dan Kebudayaan. Terj. Alois A. Nugroho. Jakarta : PT.
Gramesia.
Fananie, Zainudin. 2005. Restrukturisasi
Budaya Jawa. Surakarta : MUP-UMS.
Koentjaraningrat
Syam, Nur, 2005, Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS.
Geertz, Clifford, 1983, Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa yang di adaptadi dari buku The Religion
of Java. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.
Agus, Bustanudin , 2006,Agama dalam
Kehidupan Manusia, Jakarta : RAJAGRAFINDO PERSADA.
Woodward, Mark R, 1999, Islam Jawa, Yogyakarta : LkiS
Hasil wawancara dengan Pak Suto Wijoyo (pengurus masjid)
Hasil wawancara dengan Pak Samsuri (ketua kelompok nelayan)
Hasil wawancara dengan Bu nurhayati (pedagang di pesisir pantai)
Hasil wawancara dengan Bu juminem (warna asli dusun watu ulo)
Hasil wawancara dengan Pak Makmur (nelayan di dusun watu ulo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar